Semakin ke sini, hidup terasa semakin cepat. Tak terasa
dari badan yang dulunya kecil, masih menggunakan seragam merah putih, dengan
perpaduan dasi dan rompi merah menempel di dada, berat badan hanya 29 kg saat
ditimbang, sekarang sudah mempunyai tinggi hampir sekitar 175 cm, raut wajah
tegas, bulu halus tumbuh dimana-dimana, sudah tidak memakai seragam lagi. Waktu
terlalu cepat, macam singa mengejar kijang, mencabik-cabik mangsanya, melahap
habis daging merah itu.
Amin.
Sangat kejam.
Dua hari yang lalu, gue menginjak umur dua puluh tahun.
Dalam istilah orang dewasa yang sering kita dengar disebut berkepala dua. Dalam
istilah pencinta bola, umur segitu sudah melewati lima kali piala dunia. Kalau dihitung-hitung
dalam matematika sd, berarti sudah dua dasawarsa.
Di umur dua puluh masih banyak teman yang berleha-leha
hidupnya. Saat ditanya mengenai masa
depan, mereka malah menjawab, “nanti aja mikirin masa depan. Masih muda.”
Ada pula juga yang di umur dua puluh, mereka hidupnya
sudah mapan. Sudah mempunyai pekerjaan, ya, walaupun gajinya tidak seberapa,
tapi itu cukup untuk membiayai hidupnya sendiri. Hidupnya sudah mandiri. Tidak
perlu sokongan dari orang tua.
“Gue udah
mikirin masa depan,” kata seorang teman. Hebatnya, dia sudah memikirkan untuk
nikah di umur berapa, rumah dimana, sampai mau punya anak berapa. Gue
menggelengkan
kepala. Hebat bukan main.
Saat berulang tahun dua hari yang lalu, gue gak masuk
kuliah. Karena memang kondisi badan sedang tidak enak. Kepala terasa pening, jalan
sedikit aja sulit. Sesulit memerah susu sapi menggunakan sedotan (caranya
gimana ya ?).
Pilihan jatuh untuk beristirahat di rumah. Sekaligus merenung
ketika di umur dua puluh, sudah apa saja yang dilakukan selama ini. Otak berpikir
keras. Keringat menyucur di dahi. Kentut keluar dengan syahdu dari lubang surga.
Sayangnya, setelah dua jam berpikir, tidak menghasilkan
apa-apa.
Tiba-tiba, timbulah pertanyaan mendalam: apa tujuan hidup?
Tentunya hidup bukan hanya bernafas, makan, minum,
tidur, membuang hasil dari metabolisme tubuh. Seandainya hidup cuman seperti
itu, berarti hidup kita tidak punya esensi. Gak jauh beda sama kotoran kuning yang
mengambang di aliran sungai yang tenang, lalu tenggelam karena keberatan.
Untuk menjawab pertanyaan dasar, sekaligus mendalam itu,
sebenarnya gue udah punya jawaban yang udah ditulis sejak SMA. Ya, gue punya
mimpi dan tujuan hidup. Agak lucu sih menulis kembali apa yang sudah gue tulis
sebelumnya.
1.
Saya bisa menjadi penulis best seller yang karyanya terjual lebih
dari satu juta eksemplar, atau yang lebih dari itu.
2.
Saya punya mobil avanza supaya bisa
jalan-jalan keluar kota dengan keluarga, atau yang lebih dari itu.
3.
Saya bisa jalan jalan ke luar negeri
bersama keluaga, atau yang lebih dari itu.
4.
Saya punya IMac keluaran terbau atau yang
lebih dari itu.
5.
Saya punya smartphone/IPhone terbaru dan canggih, atau yang lebih dari itu.
6.
Saya bisa menerbitkan 5 buku novel atau
yang lebih dari itu.
7.
Saya bisa menginspirasi 5 orang terdekat
saya supaya bisa sukses atau yang lebih dari itu.
Amin.
Ketika nulis itu waktu SMA, beberapa orang ada yang mendukung.
Tapi tidak semuanya. Ada juga yang menertawakan mimpi gue, dan ada yang bilang,
“Mustahil!” Apakah gue kesel ? Nggak. Malah semakin banyak yang menertawakan, semakin
kuat tekad, dan malah membuat mimpi itu semakin mungkin terwujud.
Setidaknya, gue masih punya tujuan hidup dan tau apa
yang ingin gue lakukan ke depannya.
Untuk menutup tulisan ini, supaya terlihat keren. Gue
ingin mengutip salah satu tulisan Andrea Hirata, dalam novelnya Ayah: manusia baru dapat dikatakan sebagai manusia kalau mereka sudah tahu
hidupnya untuk apa.
Komentar
Posting Komentar