"mau nikah kapan ?"
Pertanyaan itu sering muncul ketika sedang berkumpul dengan keluarga besar di hari lebaran. sehingga timeline twitter gue penuh dengan "mau nikah kapan ?" yang diparodikan ketika menjelang lebaran, kebanyakan yang men-tweet tentang itu, laki laki yang sudah berkepala dua dan berkepala tiga.
Gue nggak akan membahas itu karena pertanyaan itu belom cukup umur untuk gue, karena umur gue baru 17 tahun. pertanyaan yang cocok buat gue adalah "mau kuliah dimana ?" itu pertanyaan yang dilontarkan tante gue ketika berkumpul dengan keluarga besar kemarin.
Sebenernya pertanyaan itu nggak sulit untuk dijawab, cuman susah untuk menerima keadaan kalo nanti gue nggak keterima di perguruan tinggi yang gue inginkan. gue masih bingung untuk menentukan perguruan tinggi dan jurusan. mungkin kalo ada yang menanyakan pertanyaan "mau kuliah dimana ?" lagi, gue akan menjawab "biarkan waktu yang menjawab"
Gue hanya terdiam ketika pertanyaan itu terdengar kuping gue. beberapa saat setelah pertanyaan itu, tante gue ngomong gini "pal kamu kuliah di madinah ya, nanti tante cariin beasiswa nya". gue makin terdiam, diam disini bukannya gue gak mau atau gimana. gue sedang berpikir bagaimana caranya nanti bisa bertahan hidup, kuliah dimadinah, sedangkan bahasa arab aja nggak bisa. paling cuma sedikit aja. kata "amin" doang yang gue tau.
Gue ngebayangin ketika nanti jadi kuliah disana, dan gue ngobrol disana sama orang arab, itu bakal absurd banget kayak gini.
percakapan ini sudah di translate ke bahasa indonesia
orang arab : nama kamu siapa ?
gue : amin
orang arab : asalnya dari negara mana ?
gue : amin
orang arab : sekarang lagi nge-kost ?
gue : amin
Setelah percakapan itu tiba tiba gue langsung punya kost-an dimadinah. pertanyaan orang arab itu terkabul karena gue "amin" kan.
Itu yang terbayang dibenak pikiran gue kalo kuliah di sana. sampai sekarang masih belum kepikiran untuk melanjutkan kuliah dimana, biarkan nanti waktu yang menjawab.
Pertanyaan itu sering muncul ketika sedang berkumpul dengan keluarga besar di hari lebaran. sehingga timeline twitter gue penuh dengan "mau nikah kapan ?" yang diparodikan ketika menjelang lebaran, kebanyakan yang men-tweet tentang itu, laki laki yang sudah berkepala dua dan berkepala tiga.
Gue nggak akan membahas itu karena pertanyaan itu belom cukup umur untuk gue, karena umur gue baru 17 tahun. pertanyaan yang cocok buat gue adalah "mau kuliah dimana ?" itu pertanyaan yang dilontarkan tante gue ketika berkumpul dengan keluarga besar kemarin.
Sebenernya pertanyaan itu nggak sulit untuk dijawab, cuman susah untuk menerima keadaan kalo nanti gue nggak keterima di perguruan tinggi yang gue inginkan. gue masih bingung untuk menentukan perguruan tinggi dan jurusan. mungkin kalo ada yang menanyakan pertanyaan "mau kuliah dimana ?" lagi, gue akan menjawab "biarkan waktu yang menjawab"
Gue hanya terdiam ketika pertanyaan itu terdengar kuping gue. beberapa saat setelah pertanyaan itu, tante gue ngomong gini "pal kamu kuliah di madinah ya, nanti tante cariin beasiswa nya". gue makin terdiam, diam disini bukannya gue gak mau atau gimana. gue sedang berpikir bagaimana caranya nanti bisa bertahan hidup, kuliah dimadinah, sedangkan bahasa arab aja nggak bisa. paling cuma sedikit aja. kata "amin" doang yang gue tau.
Gue ngebayangin ketika nanti jadi kuliah disana, dan gue ngobrol disana sama orang arab, itu bakal absurd banget kayak gini.
percakapan ini sudah di translate ke bahasa indonesia
orang arab : nama kamu siapa ?
gue : amin
orang arab : asalnya dari negara mana ?
gue : amin
orang arab : sekarang lagi nge-kost ?
gue : amin
Setelah percakapan itu tiba tiba gue langsung punya kost-an dimadinah. pertanyaan orang arab itu terkabul karena gue "amin" kan.
Itu yang terbayang dibenak pikiran gue kalo kuliah di sana. sampai sekarang masih belum kepikiran untuk melanjutkan kuliah dimana, biarkan nanti waktu yang menjawab.
Hahaha, memang pertanyaan kapan nikah? dan kuliah di mana? jadi momok menakutkan bagi semua orang.
BalasHapusBaju baru Alhamdulillah---------------> pammadistro.blogspot.com
haha emang bener mas
Hapus