Langsung ke konten utama

Bang Nopal, Main Yuk !

Perumahan di rumah Nyokap gue tergolong perumahan baru. Tetangga di sini didominasi oleh pasangan suami istri yang baru menikah. Rata-rata anak-anaknya masih kecil, gak ada yang seumuran gue. Jadi, pemandangan sore hari ketika gue keluar rumah adalah melihat anak kecil berkeliaran kesana kemari sambil meneteskan air ingus.

Gue gak punya temen di perumahan ini. Bukannya gue gak mau bersosialisasi, gue cuman takut kalau terjadi apa-apa dengan anak-anak-ingusan-itu, pasti gue yang kena, karena gue anak yang paling tua.

Tapi gue punya satu temen, dia anak kecil, kira-kira ukurannya 50 milimeter… oke itu ukuran upil 
gue. Temen gue itu tetangga sebelah, namanya Mahesa. Tepatnya bukan temen gue sih, soalnya cuman dia yang mengganggap gue sebagai temen, guenya nggak.

Mahesa ini anak tunggal. Orang tuanya juga tunggal. Dia hanya di besarkan oleh ibunya. Kalau masalah tentang bapaknya, gue gak tau. Gue gak mau menanyakan masalah tentang bapaknya ke Mahesa, dia masih kecil. Karena menurut gue, kemungkinannya hanya ada dua, bapaknya meninggal, atau kedua orang tuanya cerai.

Ketika pertama kali rumah Nyokap jadi, Mahesa sering banget main ke rumah. Selalu mengajak gue main. Kedatangannya ke rumah menurut gue bukannya mengajak main, tapi malah membawa kerusuhan.

Saat gue sedang menonton tv, terdengar suara pijakan kaki dari luar rumah. Lama kelamaan suaranya terdengar semakin keras. Tiba-tiba ada yang membuka pintu ruang tamu tanpa salam.

“Bang Nopal, main yuk” sahut Mahesa dari depan pintu.

“Nggak, Bang Nopal lagi nonton. Main aja sendiri” jawab gue jutek. Kalo lagi nyaman nonton tv, 
gue males untuk main, apalagi sama anak kecil.

Dia yang sedang berdiri di depan pintu rumah, langsung lari menabrak gue dari belakang yang sedang duduk asik nonton tv. Lalu, Mahesa langsung gelendotan di punggung gue, sambil memeperkan ingusnya ke leher gue.

“Main nggak ?” ancam Mahesa.

Ya, gue langsung main sama dia. Gue gak mau leher gue karatan. Sejak kejadian itu, Mahesa punya jurus untuk mengajak gue main.


Mahesa hampir setiap hari main ke rumah.  Anak kecil itu datang setelah gue pulang dari sekolah. Tandanya dia tau, kalau ada motor gue di depan rumah, berarti gue sudah pulang dari sekolah. “Bang Nopal, main yuk” kalimat itu selalu terngiang di kuping gue setelah pulang sekolah.
Kebiasaan yang selalu terulang, membuat gue menjadi hafal polanya. Saat ada suara kaki berderu kencang ke arah rumah, pasti itu tandanya ada Mahesa mau ke rumah. Biasanya  ketika  mendengar suara itu, gue langsung ngumpet di balik pintu kamar gue, menghindar untuk bermain dengan Mahesa.

Pintu ruang tamu terbuka.

“Ibu Lita, bang nopalnya ada nggak ?” Mahesa yang tidak melihat gue, langsung menanyakan kepada Nyokap yang sedang ada di rumah.

“Oh, bang nopalnya nggak ada tuh” jawab Nyokap gue berbohong. Dia tau kalau gue ngumpet di balik pintu kamar, dan dia tau kalau gue gak mau main sama anak itu.

“Ah bohong, itu buktinya ada motornya Bang Nopal di depan rumah”

“…”

Mahesa memang anak yang pinter, dia gak gampang untuk dibohongin. Gak kayak waktu gue kecil dulu, gue gampang banget dibohongin. Pernah dulu, temen gue nangkep laba-laba, terus dia bilang ke gue ‘Pal coba deh tangan lu digigit laba-laba, kan nanti bisa berubah jadi spiderman’ gue langsung percaya. Mulut laba-labanya diarahkan ke tangan gue, dia menggigit,  gue meringis kesakitan. Setelah tangan gue digigit laba-laba, eh gue gak jadi spiderman. Kampret.

Mahesa mencari gue ke seluruh sudut ruangan di rumah, berlari sana-sini. Hentakan kakinya terdengar telinga gue yang sedang ngumpet di balik pintu. Tiba-tiba gue merasakan sesuatu. Ada yang mendorong pintu kamar hingga badan gue terhimpit antara pintu dan tembok. Sakit.

“Wah, kayaknya ada Bang Nopal nih, keluar gak Bang  ?

Gue diem.

“Keluar gak Bang ? atau Mahesa dorong terus pintunya ?”

“Iya, Iya…” gue keluar. Gue lebih milih main dengan Mahesa daripada badan gue hancur jadi 
daging giling karena terhimpit pintu dan tembok.

Anak itu selalu menang dari gue. Dia selalu punya cara yang aneh untuk bisa mengajak gue main.
Untuk meluapkan kejengkelan gue pada anak itu, kadang dia sering gue ajak main smack down, supaya dia marah dan gak mau main lagi sama gue. Dia gue ajak ke kamar gue. Setelah sampai, lalu badannya gue angkat ke atas, dan gue banting ke kasur. Niatnya untuk bikin dia kesel, eh malah kebalikannya. “Bang Nopal, main smack down lagi, seru !”


Ketika Mahesa sedang main di rumah, kadang gue suka isengin dia. Anak kecil ingusan itu paling takut sama kegelapan dan kesendirian. Kalau ditinggal sendiri di dalam kamar mandi pasti dia langsung nangis. Pernah gue kunciin di dalem kamar mandi, lampunya gue matiin. Pas gue buka, dia meneteskan air mata dan meneteskan air ingus.

Beberapa hari setelah gue kunciin di kamar mandi, dia jarang main lagi sama gue. Setiap sore gak ada kalimat yang selalu gue dengar “Bang Nopal, main yuk”. Kata ibunya, dia trauma ditakut-takutin begitu. Dia lebih memilih mengurungkan diri di rumahnya sambil minum ingus (Oke ini ekstrim).

Jujur, gue kangen sama tingkah lakunya dia. Dengan membuat kegaduhan di rumah, memeperkan ingusnya, gue kangen. Semenjak dia jarang main lagi ke rumah gue, berasa jadi sepi. Gak ada orang yang gue marahin, gak ada yang isengin gue, gak ada yang meperin ingus.

Emang, sesuatu yang berharga, baru terasa berharga ketika kita merasa kehilangan.

Gue baru nyadar, ternyata apa yang gue lakuin salah. Bukannya mengajak dia main, malah isengin dia. Padahal yang dia mau hanya ‘teman bermain’.  Dia gak punya temen kecuali gue.
Apa yang dia rasakan, sebenernya pernah juga gue rasakan. Disaat kakak gue  pergi meninggalkan rumah untuk kuliah dan menetap di kos. Dan ketika adik gue sedang tidak berada di rumah, berasa jadi sepi, gak ada temen main. Gak ada temen ngobrol.


Dengan jeda waktu yang lama, setelah jarang main ke rumah gue, akhirnya Mahesa datang ke rumah lagi. Terdengar suara kaki di depan rumah. Suara pijakan kakinya ketika pertama kali ke rumah masih gue, masih sama. Suara dari mulutnya masih terdengar cempreng seperti dulu “Bang Nopal, Main yuk”. Gue jawab dengan semangat “Ayuk main”.

Komentar

  1. Anda Bosan Menjadi Pemain Dan Ingin Menjadi Bandar??? Temukan Solusinya Hanya Di PesonaQQ.com

    Penawaran Special Dari PesonaQQ Untuk Anda Yang Bergabung Hari Ini Juga :

    =>> Bonus Turnover 0.3% - 0.5% (Perminggu)
    =>> Bonus Referensi 20% (Seumur Hidup)

    Keuntungan Anda Yang Bergabung Bersama Kami Di PesonaQQ :

    *Data Anda Aman Bersama Kami
    *Pelayanan Customer Service Yang Ramah 24/7
    *Tersedia 7 Permainan Dalam 1 Web Yang Sesuai Dengan Skill Anda (Poker, Domino QQ, Capsa Susun, Adu Q, Bandar Q & Bandar Poker)
    *Bonus TURNOVER Yang Melimpah & Bonus REFERENSI Yang Berlaku Seumur Hidup
    *Hanya Dengan 1 Akun Anda Sudah Bisa Bermain Semua Game Di PesonaQQ.com

    Kalau Bukan Sekarang Kapan Lagi???

    Ayok Tunjukkan Skill Anda Sekarang Juga, Hanya Di PesonaQQ.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karya Pertama!

Yuhuuu. Gue pengin ngasih tahu kabar gembira untuk kalian semua. Akhirnya proofread buku gue sampe juga di rumah!   Buat yang belum tau, dalam dunia penerbitan ada istilah proofread . Proofread itu adalah cetakan pertama sebelum mencetak sekaligus banyak. Gunanya supaya penerbit bisa ngecek dimana letak kesalahan pada buku pertama. Kalo cetakan pertama udah clear ( udah dibenerin semua) nanti baru bisa dicetak banyak. Itu berguna untuk menekan biaya produksi, kalo udah cetak banyak tapi salah kan kacau. Kok jadi ilmiah gini ya bahasannya.. Oke balik lagi. Jadi cetakan pertama ini udah sampe rumah, dan gue seneng banget, setelah menunggu lama akhirnya sampe juga. Nanti setelah gue koreksi proofread -nya, baru bisa siap cetak. Bokap sama Nyokap kaget banget ada yang ngirim buku ke rumah, terus di cover bukunya ada muka gue. Mereka ngira jaman sekarang media santet udah modern: gue disantet lewat buku. Hmmm… Gue gak ngasih kabar sama sekali ke orang tua kalo gue n...

Merasa asing

Gue merenungkan tulisan raditya dika dari bukunya mengenai koala yang berasal dari New South Wales, Australia. ceritanya begini, koala itu bermigrasi dari hutan tempat tinggalnya. beberapa bulan kemudian, ia kembali ke hutan tempat dia tinggal. namun, ternyata selama dia pergi, hutan yang pernah menjadi rumahnya ditebang, diratakan dengan tanah oleh para penebang liar. Si koala kebingungan kenapa tempat tinggalnya tidak seperti dulu. ia hanya bisa diam , tanpa bisa berbuat apa pun. ia duduk sendirian. memandangi sesuatu yang dulu sangat diakrabinya dan sekarang tidak dikenalinya. Sebenernya gue juga pernah merasakan hal yang dirasakan Si koala itu. 'sesuatu yang dulu sangat diakrabi dan sekarang seperti tidak dikenali'. tapi yang gue rasakan bukan kepada tempat seperti Si koala yang diceritakan diatas, tapi lebih kepada teman yang dulu pernah dekat, tapi sekarang udah tidak lagi. Salah satunya temen sd gue, Ibnu. Ibnu ini saudara dari saudara gue. jadi, gue punya ...

Boker diwaktu yang tidak tepat

Pada bulan bulan awal tahun 2011 pas gue smp dilewati dengan kegiatan kegiatan sekolah yang menyibukan. entah ada try out terus menerus yang hanya berselang seminggu, mengerjakan soal soal pelajaran yang akan di ujiankan tanpa henti, dan masuk sekolah jam 6 pagi atau yang biasa disebut jam 0 untuk belajar tambahan. ya itu semua dilakukan hanya untuk satu tujuan. lulus ujian nasional. "Ah ah ah ah   Ah ah ah ah Ah ah ah oh Ah ah ah ah I always knew you were the best the coolest girl I know"