Hari ini gue
ikut turnamen tenis meja di kampus. Udah
dari satu bulan yang lalu ada poster mengenai turnamen ini. Di sana,
dicantumkan hadiah pemenang jika memenangkan turnamen. Untuk juara satu single putra mendapatkan 500 ribu + piala + sertifikat. Gue mikir,
lumayan juga kalau gue menang, bisa makan gorengan sepuasnya.
Kemarin, yang
seharusnya ada pertemuan peserta untuk membahas teknis peraturan, cara bermain
dan pembagian grup, gue nggak dateng. Jadi gue buta mengenai kompetisi ini. Beruntung ada Taufiq, temen
gue yang masih MABA, dia ngasih tau gue tentang peraturannya dan lawan gue
nanti siapa. Jadi, nanti pas gue main gak keliatan bego-bego amat.
Saat sampai di
sana, banyak peserta yang belum pernah gue lihat. FYI, gue anak Unit Kegiatan
Mahasiswa (Ekskul) tenis meja, jadi anak-anak yang sering latihan gue tau siapa
aja. Dari tampang mereka, terlihat jago-jago semua. Kuda-kudanya juga terlihat
sangat kokoh dalam berdiri. Tangannya juga terlihat seperti sering bermain tenis
meja. Pertanda buruk.
Sambil menunggu
giliran bermain, gue duduk di bangku penonton sekaligus baca buku novel.
Sesekali gue juga melihat permainan orang yang sedang bermain. Taufiq, dia main
pertama melawan kakak senior. Permainannya sangat rapih, tidak banyak kesalahan
yang dibuatnya. Kebalikannya, kakak senior malah mempunyai banyak kesalahan
yang mengakibatkan memberi poin untuk Taufiq.
Alhasil, Taufiq
membantai telak kakak seniornya sendiri dalam UKM tenis meja. Cowok berkulit
putih dengan rambut sedikit acak-acakan itu memperoleh 3-0, gak memberikan
kesempatan kakak senior untuk mendapatkan satu poin pun. Mungkin, nanti pas
latihan tenis meja, kepalanya Taufiq akan dipenggal.
Gue kembali baca
buku lagi. Pertandingan demi pertandingan berjalan dengan lancar. Nggak ada
yang rusuh dan demo mengenai ‘Turunkan harga paket internet bulanan khusus
mahasiswa’. Semua aman. Akhirnya setelah hampir setengah jam menunggu, gue main
juga. Lawan gue kali ini Hakim. Temen gue di UKM tenis meja juga, selain
Taufiq.
Seperti yang gue
liat sewaktu latihan tenis meja, dia memang jago. Saat turnamen ini juga dia
terlihat main serius. Sorot matanya menatap lurus ke depan, nggak ada belas
kasihan sama sekali sama gue. Dengan keahlian apa adanya --yang kalau main sama
anak SD pun gue bakal dibantai-– akhirnya gue ditaklukan oleh Hakim, tiga-satu.
Pertandingan
berikutnya gue juga kalah beruntun, ternyata orang-orang yang ikut turnamen ini
jago-jago. Bukan seperti gue yang cuman coba-coba. Tapi ada satu kemenangan
yang bisa gue dapatkan, orang yang gue kalahkan itu cuman ikut-ikut juga
seperti gue. Skill-nya lebih rendah
daripada gue. Mungkin dia bisa dibantai main tenis meja sama anak TK.
Harapan untuk
masuk ke babak berikutnya pun pupus. Harapan gue untuk makan gorengan sepuasnya
juga juga kandas. Oh mahasiswa, hidupmu berat sekali.
…
Sore ini,
keluarga sedang berkumpul semua di rumah. Kakak gue yang nge-kos di Rawa
Mangun, Jakarta, pulang ke rumah juga. Jarang
banget keluarga komplit. Sayangnya, saat semua berkumpul, Bokap sama Nyokap
sedang ada arisan RT di belakang rumah.
Gue dengan Hana
ngobrol tentang sekolahnya di ruang keluarga. Kak Ojan juga ngobrol menanyakan
kabar adik-adiknya (Gue dan Hana). Di tengah-tengah obrolan, kita juga membahas
kucing yang ada di rumah. Bagaimana kabarnya, udah kawin atau belum. Ya, kucing
di rumah gue memang sudah dianggap sebagai bagian keluarga sendiri. Sampai
urusan perkawinan aja diurusin.
Kita ngobrol
nggak terlalu banyak, hanya sebentar. Habis itu kita bertiga sibuk masing-masing.
Hana bermain gadget yang ada
ditangannya. Gue membereskan rumah dan menata makanan di atas meja makan. Kak
Ojan keluar rumah naik motor Bokap, mungkin dia ada urusan lain.
Tiba-tiba
terdengar suara pintu dari garasi yang terbuka. Suara hentakan kaki terdengar
masuk rumah.
“NOPAL ! HANA !
OJAN ! AYO CEPET !” Suara terdengar dari arah garasi. Suara yang gue denger
setiap hari. Suara Bokap.
“Cepet ? Emangnya
mau ngapain ?” Gue nanya dengan intonasi santai
sambil beres-beres di meja makan.
“ADA KAKI GAJAH
!” Bokap menghembuskan napas, lalu melanjutkan kalimatnya lagi, “AYO CEPET
KELUAR !”
“MANA !?! MANA
!?!” Suasana rumah yang pada awalnya tenang menjadi panik. Baru pertama kali
perumahan gue dimasuki gajah. Ini kejadian yang sangat langka.
Gue dan Hana pun
keluar rumah yang sedang melakukan aktivitas masing-masing. Di luar, nggak ada
satu pun kaki gajah yang terlihat di jalanan. Seperti biasa, sepi. Hanya ada
lampu yang menyinari jalanan.
“Nggak ada kaki
gajah bi.” Jawab gue, memasuki rumah kembali.
“BUKAN ITU !
Maksudnya, kita keluar ke posyandu. Di sana ada pembagian obat gratis untuk
mencegah penyakit kaki gajah.” Bokap menjelaskan pernyataannya tentang ‘Kaki
gajah’ yang dia maksud di awal.
“Oooooh.” Jawab
gue dan Hana berbarengan.
Pandangan mata
Bokap menyapu bersih ke seluruh rumah. Dia melihat dari sudut ruangan ke sudut
ruangan lain yang berjauhan. Terlihat dari sorot matanya, ada yang dia cari.
Seperti ada yang kurang.
“Kak Ojan kemana
?” Tanya Bokap
“Keluar tadi,
bawa motor. Nggak tau kemana.”
Bokap
mengeluarkan handphone dari saku
celananya yang berwarna hitam. Bokap menelpon seseorang di seberang sana.
Kayaknya Kak Ojan. Dua menit menunggu tidak ada jawaban. Lima menit menunggu
nggak ada jawaban juga. Akhirnya di menit ke tujuh telepon diangkat.
Bokap menanyakan
posisi Kak Ojan lagi dimana. Lalu, bokap menyuruh Kak Ojan ke posyandu di
perumahan yang jaraknya tidak jauh dari rumah. Setelah itu kita bertiga, gue,
Hana, dan Bokap naik satu motor ke posyandu. Kalau dilihat dari kejauhan, kita
bertiga terlihat seperti cabe-cabe-an pada malam hari.
Sesampainya di
sana, banyak orang yang datang. Waktu sudah menunjukan hampir jam delapan
malam. Posyandu belum tutup. Tumpukan obat di dalam plastik terhampar di atas
meja salah satu pelayan posyandu. Bokap mengecek tensi darah di belakang
posyandu, lalu kembali lagi ke depan untuk mengambil obat.
Kak Ojan tidak
terlihat di posyandu dari tadi. Mungkin dia masih di perjalanan menuju ke sini.
Bokap dengan tidak sabarnya menyuruh kita samperin ke lokasi Kak Ojan. Kita
bertiga naik motor lagi, tapi kali ini membawa obat di tangan masing-masing.
Kita bertiga terlihat cabe-cabe-an habis dari apotek.
Kita menuju
rumah Pak Isto, rumah temen bokap gue. Kak Ojan di sana untuk
berbincang-bincang mengenai tugas magang dari kampus. Tujuan kakak gue ke rumah
Pak Isto adalah supaya mudah keterima magang di perusahaan swasta yang sekarang
menjadi tempat kerja Pak Isto.
Pas sampai di
depan rumahnya, nggak ada motor yang dipakai Kak Ojan. Bokap turun dari motor,
memanggil pemilik rumah dengan salam. Pak Isto keluar dari rumah dengan kaos
dan celana panjang. Mukanya terbalut
senyum.
Bokap gue nanya
di depan pagar rumah, “Pak Isto, anak saya masih di sini ?”
“Oh, Fauzan udah
keluar tuh dari tadi. Katanya ada urusan ke Posyandu.” Jawab Pak Isto, sambil
menggaruk kepalanya yang tidak gatel.
Bener firasat
gue, ketika masih di Posyandu, pasti Kak Ojan sedang di perjalanan menuju ke
sana. Saat kita sampai di rumah Pak
Isto, Kak Ojan sampai sana. Kampret. Setelah berbincang-bincang cukup lama,
akhirnya bokap naik motor di belakang, lalu kita pulang ke rumah.
Di depan garasi
rumah, terlihat motor matic yang
dipakai Kak Ojan. Saat masuk ke dalam rumah, gue memberikan obat untuk Kak Ojan.
Bokap pergi lagi keluar rumah untuk meneruskan arisan RT. Lalu, kami bertiga
minum empat obat itu sekaligus. Semoga nggak ada yang kena kaki gajah.
Komentar
Posting Komentar