Salah
satu dosen di prodi gue ngasih tugas ke
mahasiswanya buat nambah nilai UAS. Karena anak muridnya pasti udah bosen dikasih tugas yang gitu-gitu aja, dia punya alternatif lain, dia ngasih tugas yang beda, beragam. Dia
nyuruh mahasiswanya milih salah satu tugas dari dari tiga pilihan, diantaranya : buat puisi, cerpen atau
berita buat presenter.
Seandainya
gue milih buat puisi, pasti hasilnya akan absurd.
Contoh hasilnya seperti ini. Gue kasihan sama dosen, setelah baca puisi gue pasti
dia langsung muntaber (muntah dan berak-berak). So, gue gak milih buat puisi. Kalo
buat berita, gue udah bosen. Hampir setiap tugas selalu disuruh buat berita,
otak gue jadi migren.
Gue
pengin yang beda, alhasil gue memilih buat cerpen. Walaupun hasilnya absurd dan bikin muntaber juga setelah
baca, setidaknya gue udah berusaha. Cerpen tersebut sengaja gue taruh di blog,
supaya banyak yang baca, dan banyak yang berak sembarangan, hehe. Selamat
membaca !
…
Hujan di Senja
Hari
Rintik hujan mulai turun. Tetes demi tetes membasahi tanah
kering. Dinginnya udara membuat embun dalam kaca. Senja itu, aku sedang duduk di
tempat tidur, menatap nanar ke arah luar jendela. Hembusan angin membuat aku
menarik selimut untuk menutupi seluruh bagian tubuh. Terdengar ketukan tiga
kali dari pintu kamar, lalu terbuka.
“Kamu sedang apa ?” tanya istriku. Dia berdiri di depan
pintu menatapku heran.
“Sedang duduk,” kataku, “menikmati suasana hujan.”
“Aku buatkan kopi hangat ya ?” tanya dia sambil tersenyum.
“Iya.”
Dia keluar kamar, lalu menutup pintu. Aku menatap kembali
keluar jendela. Tanah yang sebelumnya berwarna cokelat muda, sekarang telah
berubah menjadi cokelat pekat. Cahaya kuning menyinari tengah jalanan. Angin meniupkan
pasukannya ke daun pepohonan. Daun tersebut bergerak ke bawah, ke samping, ke
atas, lalu kembali ke tempat semula. Seolah-olah hembusan angin tidak mampu
menjatuhkannya.
Terdengar suara pintu kamar kembali terbuka. Datang seorang
perempuan membawa dua cangkir kopi hangat. Kepulan asap terbang membumbung
tinggi ke atas dari cangkir. Dia menaruh cangkir tersebut di atas meja kayu di
depanku. Tidak lama setelah itu, istriku ikut duduk di sebelahku.
Pergelangan tangannya masuk ke dalam lingkaran tanganku.
Kepalanya direbahkan ke pundakku sambil menoleh, dia tersenyum manja. Aku
mengacak-ngacak rambut kepalanya. Helaian rambutnya sekarang tidak beraturan,
tidak lurus lagi. Aku tersenyum.
“Coba kamu lihat awannya,” kataku menunjuk sebuah awan di
luar jendela. Matahari senja membuat awan itu berwarna jingga keemasan. “Bagus,
ya.”
“Iya, bagus,” kata istriku ikut menatap luar jendela.
Rintik hujan depan rumah membuatku teringat sesuatu. Aku
teringat ketika aku dan dia masih memakai seragam putih abu-abu. Saat masih
sekolah.
Aku bercerita ke istriku ketika aku pertama kali
mengungkapkan rasa cinta kepadanya. Saat itu, pulang sekolah, aku membeli
cokelat dan bunga di salah satu toko swalayan. Tidak lama berselang, hujan
mulai turun per satu dari langit. Aku berteduh di depan toko tersebut, berdoa
semoga hujannya cepat berhenti.
Ternyata doaku tidak dikabulkan. Hujan tidak berhenti, tapi malah
semakin deras. Aku menunggu cukup lama, tapi tetap tidak kunjung berhenti juga.
Jam dinding depan toko menunjukan pukul lima sore. Akhirnya, aku memutuskan
lari melewati derasnya hujan ke rumah perempuan yang sekarang menjadi istiku. Saat
di depan rumahnya, aku duduk, lalu berteriak sekencang-kencangnya, “AKU CINTA
KAMU ! MAUKAH KAU JADI PACARKU ?”
“Kamu ingat kan ? kalau aku bicara begitu ?” tanyaku.
“Iya, ingat,” kata dia sambil tersipu malu, “setelah kamu
bicara begitu, kamu langsung diusir
ayah kan ? karena dikira orang gila.”
“Iya, hehe,” aku tertawa mengingat kejadian masa lalu.
Sekarang, muka kami berhadapan satu sama lain. Kalau dilihat
dari dekat, matanya lebih hitam dari biasanya, menjadi hitam legam. Sorot
matanya menatap mataku sangat dalam. Dia melukiskan senyum simpul di pipinya,
senyum yang dapat meluluhkan hati semua laki-laki, termasuk aku. Aku adalah
salah satu laki-laki yang sangat beruntung di dunia memilikinya.
Matanya terpejam. Aku mendekatkan bibirku ke dahinya. Sekarang,
jarak kita semakin dekat dari sebelumnya. Saat tinggal beberapa centimeter
lagi, kepalaku terasa terguyur air dingin dari atas kepala. Sungguh aneh. Tidak
lama, terdengar samar suara oleh telinga. Suara tersebut semakin lama semakin
jelas, dan akhirnya terdengar seluruh kalimatnya.
“NOPAL ! BANGUN ! SEKARANG UDAH JAM DELAPAN PAGI ! CEPAT
SANA MANDI ! MASUK KULIAH !”
Aku terbangun dari tempat tidur. Tidak ada perempuan di
sampingku. Hanya ada ibuku sedang berdiri di samping ranjang, memarahiku karena
bangun kesiangan. Aku hanya bisa diam terpaku, menatap kosong lemari cokelat di
depanku. Ternyata kejadian yang tadi hanyalah mimpi. TAMAT.
Komentar
Posting Komentar