Jadi cewek enak ya, mereka bisa melakukan apa aja sama
temennya yang berjenis kelamin sama (baca : cewek). Contohnya, mereka bisa
pegangan tangan satu sama lain, ngomong “sayang-sayang-an” di depan umum,
berbalas memuji paras cantik, sampai yang paling ekstrim : ciuman bibir dengan
bibir, tanpa takut dibilang lesbi sama orang lain.
Sedangkan jadi cowok nggak enak sama sekali. Kalau
seorang cowok pegangan tangan sama cowok lain, memanggil “sayang-sayang-an” di
depan umum, sampai berbalas memuji kegantengan sesama cowok, sudah bisa
dipastikan dia akan dikucilkan dari masyarakat, diinjak-diinjak, diludahi, lalu
akan dibakar massa (ekstrim). Mengenaskan.
Mungkin, persepsi orang sudah mengatakan bahwa cewek
itu mempunyai karakter lemah lembut, halus, kalem, jadi wajar aja kalau
melakukan itu. Berbeda dengan cowok yang
mempunyai karakter yang lebih macho, maskulin, gagah. Jadi gak cocok kalau
sesama cowok melakukan pegangan tangan, dan sebagainya, itu akan terasa
menggelikan.
Pas di kampus, gue pernah gak sengaja megang tangan
temen gue yang cowok. Lalu, reflek tangan dia menghindar. Mungkin dia takut
mengira mendapatkan judge dari orang
lain kalau dia homo, gara-gara tangannya berpegangan dengan gue. Mukanya jadi
gelisah. Keringet dingin. Gue iseng nyentuh tangannya lagi supaya dia
ketakutan. Dia menghindar lagi, dan langsung ngejauh dari gue. Dia menatap mata
gue dengan tatapan aneh.
Dia bilang, “Pal,
lo homo ya ?”
“Iya, hehe.” Gue
nyengir.
Sejak hari itu, kabar tersebut meluas ke kalangan
temen-temen yang lain, dan gue di cap “homo”. Gue jadi iseng setiap ketemu
temen gue yang laki-laki. Gue mengelus-ngelus punggung mereka dengan telapak
tangan. Tidak ketinggalan leher dan telinga juga. Reaksi semua orang pas gue
elus, sama : langsung kabur menjauh terbirit-birit. Gue ketawa. Ada kebahagiaan
tersendiri ketika ngerjain orang.
Apakah sebenarnya gue homo ? jawabannya adalah : tergantung
situasi. Kalau situasinya sangat terdesak, dan membutuhkan gue menjadi homo, gue
akan menjadi homo sementara. Contoh kejadian : gue lagi makan di warung pinggir
jalan bareng temen malam hari. Tiba-tiba, muncul seorang banci membawa kecrekan
dari balik kain yang menutupi warung. Banci tersebut mulai bernyanyi dengan
suara fals-nya. Matanya melirik gue.
Bola matanya hitam pekat. Kelopak matanya berkedip
sekali. Tatapannya seolah-olah menggoda gue dari kejauhan. Dia berjalan
menghampiri gue dengan bunyi sepatu hak-nya, “kecipak-kecipuk” karena becek
bekas hujan. Perlahan demi perlahan dia
berjalan. Dia bilang saat jarak tinggal satu meter lagi, “Hai.” Tangannya
melambai-lambai. “Mas, ganteng deh.”
Gue akan teriak histeris, “MAAP MBAK ! SAYA HOMO ! SAYA
GAK SUKA CEWEK ! TOLONG JANGAN AMBIL KENJANTANAN SAYA !”
“Loh ? Mas ganteng ini homo ?” tanya banci tersebut,
“Saya, kan sebenernya juga laki-laki, Mas. Jadi cocok dong.” Muka banci itu
tersenyum penuh kemenangan.
MAMPUS ! gue lupa kalau banci itu wujud aslinya adalah laki-laki.
Pada malam itu, kenjantanan gue direnggut oleh seorang banci.
Jujur, gue nggak pernah risih pas gue di cap “homo” selama
di kampus. Bukan, bukan karena gue homo beneran, tapi emang karena cuman buat
seru-seruan aja. Gue suka cewek, kok. Cewek tulen, bukan cewek jadi-jadian
kayak banci yang gue ceritain barusan. Bahkan, bisa dibilang, gue sudah dewasa
sebelum waktunya. Gue pertama kali suka sama cewek saat sekolah di Taman
Kanak-kanak (TK).
Gue inget banget, ketika gue menginjak kelas nol besar-–kelas
terakhir saat TK sebelum masuk ke jenjang SD, gue pernah suka sama temen sekelas.
Orang itu berjenis kelamin betina, mempunyai sayap dan bernafas menggunakan
trakea (Loh, kok jadi kayak serangga ya ?). Dia cewek, namanya Shabrina. Bibirnya
selalu tersenyum. Walaupun warna kulitnya sawo mateng, Shabrina tetep terlihat
cantik.
Sayangnya waktu masih kecil belum ngerti
cinta-cinta-an. Gue cuman bisa lihat dia dari belakang kelas, menatap
punggungnya yang duduk di depan. Berharap dia nengok ke belakang. Gue gak
pernah deket sama dia, karena Shabrina termasuk idola di kelas, banyak yang
suka dia. Sedangkan, gue cuman cowok ingusan yang kalau ketemu sama cewek,
cewek itu langsung menghindar takut melihat tetesan ingus gue.
Tapi, rasa suka gue ke Shabrina hanya bertahan
sebentar, karena gue tau dia gak suka sama sekali sama gue. Dia suka sama cowok
lain, entah siapa namanya, gue lupa. Itu pertama kalinya gue merasakan penyebab
dari perasaan galau : sakit hati. Saat gue sakit hati, gue gak melakukan apapun
seperti yang anak jaman sekarang lakukan. Nangis di sudut kamar, update status galau di sosmed, dan
garuk-garuk tembok. Saat itu pelarian gue hanya satu : bermain dengan
temen-temen yang cowok.
Lucu juga sih, kalo diinget-inget. Itu patah hati
pertama gue, di saat anak kecil lain
masih bermain dengan ingusnya masing-masing, memeperkannya ke tembok.
Setelah gak suka Shabrina lagi, gue beralih suka ke
orang lain. Ini mungkin adalah hal ter-absurd
yang pernah gue alamin sepanjang hidup. Hal yang paling gak pernah terlupakan
dalam ingatan otak. Sebelumnya, gue mau ngasih tau salah satu hukum dalam
cinta-cinta-an. Kalau kita suka sama orang yang seumuran, itu wajar. Kalau kita
suka sama orang yang umurnya lebih muda, atau lebih tua sedikit, itu juga wajar.
Tapi, kalau perbedaan umurnya sangat signifikan, puluhan tahun, itu yang gak
wajar. Itu yang gue alamin. Gue suka sama guru gue sendiri, waktu TK.
Gue lupa entah siapa nama gurunya. Gue hanya inget dia berkulit putih, cantik,
dan guru itu selalu baik saat di sekolah.
Setiap guru itu ngajar di kelas, gue selalu senyum
melihat mukanya. Berhubung hitung-hitungan adalah pelajaran yang dia ajarkan,
gue jadi nggak usah merhatiin papan tulis lagi. Gue termasuk orang yang suka
matematika. Pelajaran tambah-tambahan dan pengurangan sudah di luar otak. Gue
hanya fokus memerhatikan guru.
Saat guru itu nyuruh mengerjakan soal tambah-tambahan,
gue selalu jadi orang yang pertama maju ke depan kelas, ngerjain. Gue mengambil
kapur dari tangannya, menghitung di otak, lalu menuliskan jawaban di papan
kapur. Guru itu tersenyum dan bertepuk tangan atas hasil jawaban gue. Itu
adalah kejadian yang hampir selalu berulang. Tujuan gue melakukan itu hanya
satu : mencari perhatian guru yang gue suka.
Setiap berangkat ke sekolah, gue jadi ada motivasi
tersendiri. Demi melihat guru itu mengajar. Demi melihat orang yang gue suka.
Sampai sekarang, gue masih bingung kenapa bisa suka sama guru sendiri, padahal
beda umur kita berdua jauh banget. Jangan-jangan waktu gue bayi, saat bayi-bayi
lain disuntik imunisasi sama perawat, gue malah disuntik hormon testosteron
secara berlebihan.
Pernah suatu hari, guru yang gue selalu lihat dengan
tersenyum, guru yang selalu baik sama gue----padahal waktu itu gue bandelnya
bukan main, dia nggak pernah terlihat lagi di sekolah. Satu hari. Dua hari.
Satu minggu. Sampai akhirnya gue penasaran nanya ke guru lain, kemana guru itu
pergi, nggak pernah ngajar lagi. Gue dapet kabar ternyata guru itu udah nggak
ngajar di TK gue lagi, dia menikah dengan orang lain. Mendengar kabar itu, gue
patah hati yang kedua kalinya.
Meskipun udah dua kali patah hati, gue gak pernah
kapok-kapok berusaha suka kepada cewek lagi. Saat masuk SD pun, gue sudah mulai
suka cewek. Dari dulu selalu sama, gue cuman bisa diem ngeliatin orang yang gue
suka dari jauh. Nggak pernah ngedeketin. Sampai suatu saat, kejadiannya
berulang kembali. Orang yang gue suka gak pernah suka sama gue, dia suka orang
lain. Miris.
Sampai sekarang pun, masih sama. Gue lagi suka sama
seorang cewek. Tapi sekarang nggak seperti dulu, yang cuman bisa ngelihatin
dari jauh, mengagumi dari jauh. Sekarang bisa kenalan, bahkan deket dan tau
hampir semuanya tentang dia. Sayangnya, problem-nya nambah satu : gue cuman bisa pendem perasaan sendiri, entah kenapa
susah untuk bilang “suka” ke orang lain.
Gue tau orang yang gue suka. Dan dia juga tau gue. Kita
berdua temenan. Terkadang saat berdua,
kita suka ngomongin apa aja, mulai dari hal-hal yang serius, sampai ngomongin hal
yang remeh temeh. Saat ngobrol gue lebih suka memerhatikan dirinya ketimbang
topik yang lagi dibicarakan.
Semenjak suka sama dia, gue cari tau banyak tentang
dia. Tentang hobinya, keluarganya, dan harta orang tuanya (Loh ?). Gue juga
jadi tau, ternyata kita punya banyak kesamaan. Gue suka baca buku, dia juga
suka baca buku. Gue punya telinga, dia juga punya telinga. Jumlah jari kaki gue
ada sepuluh, dia juga sepuluh. Tapi, sayangnya pas gue suka nyium batu ketek
sendiri, dia gak suka nyium bau ketek dia sendiri.
Belakangan ini, gue baru tau kalau ternyata orang yang
gue suka ternyata udah punya cowok. Sebenernya, gue udah tau dari awal, dan gue
tetep suka sama orang itu. Bodohnya dirinya gue. Kalau inget kejadian yang
sekarang gue alamin, gue jadi inget lagunya orang ketiga dari Hivi. Dalem banget.
Apakah perasaan suka yang gue alamin sekarang salah ? Menurut
gue, cinta gak pernah salah. Cuman, mungkin, suka di waktu dan tempat yang
salah.
Komentar
Posting Komentar