Langsung ke konten utama

Jatuh Cinta yang Salah ?

Jadi cewek enak ya, mereka bisa melakukan apa aja sama temennya yang berjenis kelamin sama (baca : cewek). Contohnya, mereka bisa pegangan tangan satu sama lain, ngomong “sayang-sayang-an” di depan umum, berbalas memuji paras cantik, sampai yang paling ekstrim : ciuman bibir dengan bibir, tanpa takut dibilang lesbi sama orang lain.

Sedangkan jadi cowok nggak enak sama sekali. Kalau seorang cowok pegangan tangan sama cowok lain, memanggil “sayang-sayang-an” di depan umum, sampai berbalas memuji kegantengan sesama cowok, sudah bisa dipastikan dia akan dikucilkan dari masyarakat, diinjak-diinjak, diludahi, lalu akan dibakar massa (ekstrim). Mengenaskan.

Mungkin, persepsi orang sudah mengatakan bahwa cewek itu mempunyai karakter lemah lembut, halus, kalem, jadi wajar aja kalau melakukan itu. Berbeda  dengan cowok yang mempunyai karakter yang lebih macho, maskulin, gagah. Jadi gak cocok kalau sesama cowok melakukan pegangan tangan, dan sebagainya, itu akan terasa menggelikan.

Pas di kampus, gue pernah gak sengaja megang tangan temen gue yang cowok. Lalu, reflek tangan dia menghindar. Mungkin dia takut mengira mendapatkan judge dari orang lain kalau dia homo, gara-gara tangannya berpegangan dengan gue. Mukanya jadi gelisah. Keringet dingin. Gue iseng nyentuh tangannya lagi supaya dia ketakutan. Dia menghindar lagi, dan langsung ngejauh dari gue. Dia menatap mata gue dengan tatapan aneh.

 Dia bilang, “Pal, lo homo ya ?”

 “Iya, hehe.” Gue nyengir.

Sejak hari itu, kabar tersebut meluas ke kalangan temen-temen yang lain, dan gue di cap “homo”. Gue jadi iseng setiap ketemu temen gue yang laki-laki. Gue mengelus-ngelus punggung mereka dengan telapak tangan. Tidak ketinggalan leher dan telinga juga. Reaksi semua orang pas gue elus, sama : langsung kabur menjauh terbirit-birit. Gue ketawa. Ada kebahagiaan tersendiri ketika ngerjain orang.

Apakah sebenarnya gue homo ? jawabannya adalah : tergantung situasi. Kalau situasinya sangat terdesak, dan membutuhkan gue menjadi homo, gue akan menjadi homo sementara. Contoh kejadian : gue lagi makan di warung pinggir jalan bareng temen malam hari. Tiba-tiba, muncul seorang banci membawa kecrekan dari balik kain yang menutupi warung. Banci tersebut mulai bernyanyi dengan suara fals-nya. Matanya melirik gue.

Bola matanya hitam pekat. Kelopak matanya berkedip sekali. Tatapannya seolah-olah menggoda gue dari kejauhan. Dia berjalan menghampiri gue dengan bunyi sepatu hak-nya, “kecipak-kecipuk” karena becek bekas hujan.  Perlahan demi perlahan dia berjalan. Dia bilang saat jarak tinggal satu meter lagi, “Hai.” Tangannya melambai-lambai. “Mas, ganteng deh.”

Gue akan teriak histeris, “MAAP MBAK ! SAYA HOMO ! SAYA GAK SUKA CEWEK ! TOLONG JANGAN AMBIL KENJANTANAN SAYA !”

“Loh ? Mas ganteng ini homo ?” tanya banci tersebut, “Saya, kan sebenernya juga laki-laki, Mas. Jadi cocok dong.” Muka banci itu tersenyum penuh kemenangan.

MAMPUS ! gue lupa kalau banci itu wujud aslinya adalah laki-laki. Pada malam itu, kenjantanan gue direnggut oleh seorang banci.

Jujur, gue nggak pernah risih pas gue di cap “homo” selama di kampus. Bukan, bukan karena gue homo beneran, tapi emang karena cuman buat seru-seruan aja. Gue suka cewek, kok. Cewek tulen, bukan cewek jadi-jadian kayak banci yang gue ceritain barusan. Bahkan, bisa dibilang, gue sudah dewasa sebelum waktunya. Gue pertama kali suka sama cewek saat sekolah di Taman Kanak-kanak (TK).

Gue inget banget, ketika gue menginjak kelas nol besar-–kelas terakhir saat TK sebelum masuk ke jenjang SD, gue pernah suka sama temen sekelas. Orang itu berjenis kelamin betina, mempunyai sayap dan bernafas menggunakan trakea (Loh, kok jadi kayak serangga ya ?). Dia cewek, namanya Shabrina. Bibirnya selalu tersenyum. Walaupun warna kulitnya sawo mateng, Shabrina tetep terlihat cantik.

Sayangnya waktu masih kecil belum ngerti cinta-cinta-an. Gue cuman bisa lihat dia dari belakang kelas, menatap punggungnya yang duduk di depan. Berharap dia nengok ke belakang. Gue gak pernah deket sama dia, karena Shabrina termasuk idola di kelas, banyak yang suka dia. Sedangkan, gue cuman cowok ingusan yang kalau ketemu sama cewek, cewek itu langsung menghindar takut melihat tetesan ingus gue.

Tapi, rasa suka gue ke Shabrina hanya bertahan sebentar, karena gue tau dia gak suka sama sekali sama gue. Dia suka sama cowok lain, entah siapa namanya, gue lupa. Itu pertama kalinya gue merasakan penyebab dari perasaan galau : sakit hati. Saat gue sakit hati, gue gak melakukan apapun seperti yang anak jaman sekarang lakukan. Nangis di sudut kamar, update status galau di sosmed, dan garuk-garuk tembok. Saat itu pelarian gue hanya satu : bermain dengan temen-temen yang cowok.

Lucu juga sih, kalo diinget-inget. Itu patah hati pertama gue, di saat  anak kecil lain masih bermain dengan ingusnya masing-masing, memeperkannya ke tembok.

Setelah gak suka Shabrina lagi, gue beralih suka ke orang lain. Ini mungkin adalah hal ter-absurd yang pernah gue alamin sepanjang hidup. Hal yang paling gak pernah terlupakan dalam ingatan otak. Sebelumnya, gue mau ngasih tau salah satu hukum dalam cinta-cinta-an. Kalau kita suka sama orang yang seumuran, itu wajar. Kalau kita suka sama orang yang umurnya lebih muda, atau lebih tua sedikit, itu juga wajar. Tapi, kalau perbedaan umurnya sangat signifikan, puluhan tahun, itu yang gak wajar. Itu yang gue alamin. Gue suka sama guru gue sendiri, waktu TK.
Gue lupa entah siapa nama gurunya.  Gue hanya inget dia berkulit putih, cantik, dan guru itu selalu baik saat di sekolah.

Setiap guru itu ngajar di kelas, gue selalu senyum melihat mukanya. Berhubung hitung-hitungan adalah pelajaran yang dia ajarkan, gue jadi nggak usah merhatiin papan tulis lagi. Gue termasuk orang yang suka matematika. Pelajaran tambah-tambahan dan pengurangan sudah di luar otak. Gue hanya fokus memerhatikan guru.

Saat guru itu nyuruh mengerjakan soal tambah-tambahan, gue selalu jadi orang yang pertama maju ke depan kelas, ngerjain. Gue mengambil kapur dari tangannya, menghitung di otak, lalu menuliskan jawaban di papan kapur. Guru itu tersenyum dan bertepuk tangan atas hasil jawaban gue. Itu adalah kejadian yang hampir selalu berulang. Tujuan gue melakukan itu hanya satu : mencari perhatian guru yang gue suka.

Setiap berangkat ke sekolah, gue jadi ada motivasi tersendiri. Demi melihat guru itu mengajar. Demi melihat orang yang gue suka. Sampai sekarang, gue masih bingung kenapa bisa suka sama guru sendiri, padahal beda umur kita berdua jauh banget. Jangan-jangan waktu gue bayi, saat bayi-bayi lain disuntik imunisasi sama perawat, gue malah disuntik hormon testosteron secara berlebihan.

Pernah suatu hari, guru yang gue selalu lihat dengan tersenyum, guru yang selalu baik sama gue----padahal waktu itu gue bandelnya bukan main, dia nggak pernah terlihat lagi di sekolah. Satu hari. Dua hari. Satu minggu. Sampai akhirnya gue penasaran nanya ke guru lain, kemana guru itu pergi, nggak pernah ngajar lagi. Gue dapet kabar ternyata guru itu udah nggak ngajar di TK gue lagi, dia menikah dengan orang lain. Mendengar kabar itu, gue patah hati yang kedua kalinya.

Meskipun udah dua kali patah hati, gue gak pernah kapok-kapok berusaha suka kepada cewek lagi. Saat masuk SD pun, gue sudah mulai suka cewek. Dari dulu selalu sama, gue cuman bisa diem ngeliatin orang yang gue suka dari jauh. Nggak pernah ngedeketin. Sampai suatu saat, kejadiannya berulang kembali. Orang yang gue suka gak pernah suka sama gue, dia suka orang lain. Miris.

Sampai sekarang pun, masih sama. Gue lagi suka sama seorang cewek. Tapi sekarang nggak seperti dulu, yang cuman bisa ngelihatin dari jauh, mengagumi dari jauh. Sekarang bisa kenalan, bahkan deket dan tau hampir semuanya tentang dia.  Sayangnya, problem-nya nambah satu : gue cuman bisa pendem perasaan sendiri, entah kenapa susah untuk bilang “suka” ke orang lain.

Gue tau orang yang gue suka. Dan dia juga tau gue. Kita berdua temenan. Terkadang saat  berdua, kita suka ngomongin apa aja, mulai dari hal-hal yang serius, sampai ngomongin hal yang remeh temeh. Saat ngobrol gue lebih suka memerhatikan dirinya ketimbang topik yang lagi dibicarakan.

Semenjak suka sama dia, gue cari tau banyak tentang dia. Tentang hobinya, keluarganya, dan harta orang tuanya (Loh ?). Gue juga jadi tau, ternyata kita punya banyak kesamaan. Gue suka baca buku, dia juga suka baca buku. Gue punya telinga, dia juga punya telinga. Jumlah jari kaki gue ada sepuluh, dia juga sepuluh. Tapi, sayangnya pas gue suka nyium batu ketek sendiri, dia gak suka nyium bau ketek dia sendiri.

Belakangan ini, gue baru tau kalau ternyata orang yang gue suka ternyata udah punya cowok. Sebenernya, gue udah tau dari awal, dan gue tetep suka sama orang itu. Bodohnya dirinya gue. Kalau inget kejadian yang sekarang gue alamin, gue jadi inget lagunya orang ketiga dari Hivi. Dalem banget.

Apakah perasaan suka yang gue alamin sekarang salah ? Menurut gue, cinta gak pernah salah. Cuman, mungkin, suka di waktu dan tempat yang salah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karya Pertama!

Yuhuuu. Gue pengin ngasih tahu kabar gembira untuk kalian semua. Akhirnya proofread buku gue sampe juga di rumah!   Buat yang belum tau, dalam dunia penerbitan ada istilah proofread . Proofread itu adalah cetakan pertama sebelum mencetak sekaligus banyak. Gunanya supaya penerbit bisa ngecek dimana letak kesalahan pada buku pertama. Kalo cetakan pertama udah clear ( udah dibenerin semua) nanti baru bisa dicetak banyak. Itu berguna untuk menekan biaya produksi, kalo udah cetak banyak tapi salah kan kacau. Kok jadi ilmiah gini ya bahasannya.. Oke balik lagi. Jadi cetakan pertama ini udah sampe rumah, dan gue seneng banget, setelah menunggu lama akhirnya sampe juga. Nanti setelah gue koreksi proofread -nya, baru bisa siap cetak. Bokap sama Nyokap kaget banget ada yang ngirim buku ke rumah, terus di cover bukunya ada muka gue. Mereka ngira jaman sekarang media santet udah modern: gue disantet lewat buku. Hmmm… Gue gak ngasih kabar sama sekali ke orang tua kalo gue n...

Merasa asing

Gue merenungkan tulisan raditya dika dari bukunya mengenai koala yang berasal dari New South Wales, Australia. ceritanya begini, koala itu bermigrasi dari hutan tempat tinggalnya. beberapa bulan kemudian, ia kembali ke hutan tempat dia tinggal. namun, ternyata selama dia pergi, hutan yang pernah menjadi rumahnya ditebang, diratakan dengan tanah oleh para penebang liar. Si koala kebingungan kenapa tempat tinggalnya tidak seperti dulu. ia hanya bisa diam , tanpa bisa berbuat apa pun. ia duduk sendirian. memandangi sesuatu yang dulu sangat diakrabinya dan sekarang tidak dikenalinya. Sebenernya gue juga pernah merasakan hal yang dirasakan Si koala itu. 'sesuatu yang dulu sangat diakrabi dan sekarang seperti tidak dikenali'. tapi yang gue rasakan bukan kepada tempat seperti Si koala yang diceritakan diatas, tapi lebih kepada teman yang dulu pernah dekat, tapi sekarang udah tidak lagi. Salah satunya temen sd gue, Ibnu. Ibnu ini saudara dari saudara gue. jadi, gue punya ...

Boker diwaktu yang tidak tepat

Pada bulan bulan awal tahun 2011 pas gue smp dilewati dengan kegiatan kegiatan sekolah yang menyibukan. entah ada try out terus menerus yang hanya berselang seminggu, mengerjakan soal soal pelajaran yang akan di ujiankan tanpa henti, dan masuk sekolah jam 6 pagi atau yang biasa disebut jam 0 untuk belajar tambahan. ya itu semua dilakukan hanya untuk satu tujuan. lulus ujian nasional. "Ah ah ah ah   Ah ah ah ah Ah ah ah oh Ah ah ah ah I always knew you were the best the coolest girl I know"