Langsung ke konten utama

Malapetaka Sebuah Motor Baru

Hari ini seharusnya udah libur, tapi karena gue ada rapat koordinasi dalam kepanitiaan Olimpiade Politeknik, gue harus masuk ke kampus dengan keadaan mata beler. Kemarin, gue baru tidur jam setengah satu malam. Pagi ini gue bangun lebih pagi, demi masuk kampus. Demi rapat. Titik.

Pas gue sampai kampus, sepi, cuman ada beberapa orang. Ya, ternyata gue sampai kampus jam setengah tujuh pagi, itu terlalu pagi untuk anak kampus. Gue menghabiskan waktu dengan membaca buku di tempat duduk dekat taman. Setiap mau ke kampus, kalau ada urusan di hari libur begini, gue suka bawa buku banyak supaya ada kerjaan di waktu senggang.

Jam sembilan pun tiba, jam yang sudah ditentukan untuk memulai rapat koordinasi pertama. Gue masuk ke dalam Divisi Medis dan Konsumsi dalam kepanitiaan. Gue bertemu dengan Kak Windrayo (yang menjabat sebagai ketua divisi) dan Adel (sesama anggota). Lalu, ada Ajeng dan Kak Ana yang juga bergabung ke dalam rapat. Mereka berdua adalah sebagai anggota juga 
seperti gue.

Rapat gak berlangsung lama. Hal-hal yang diomongin cuman sedikit. Obat-obatan apa aja yang dibutuhin saat olimpiade berlangsung. Dan, persiapan konsumsi untuk wasit.

“Kak, nanti kita panitia dapet makan, gak ?” tanya Adel ke Kak Windrayo.

“Hmm…,” terlihat Kak Windrayo berpikir sebentar. “Kita utamakan wasit terlebih dahulu. Kalo dana acara mencukupi, kita bisa dapet makan. Kalo seandainya dana gak mencukupi, kita terpaksa gak dapet makan.”

Hening sejenak.

Pernyataan dari ketua divisi membuat gue dan yang lain menelan ludah. Saat itu, pikiran yang muncul di otak gue adalah : semua panitia harus mengumpulkan banyak batu kerikil di sekitar kampus, buat sarapan selama menjadi panitia nanti. Lumayan, buat ganjel perut.

Rapat ditutup dengan kesimpulan mendapatkan list obat-obatan apa aja yang harus disediakan., konsumsi untuk wasit, dan, nanti, kita (panitia) bawa makanan sendiri-sendiri : batu kerikil.
Setelah rapat ditutup, semua langsung melanjutkan kegiatan lainnya di kampus. Ada yang harus rapat lagi dengan kepanitiaan acara yang berbeda. Ada yang pengin daftar belajar bahasa korea gratis. Ada juga yang harus bersih-bersih daerah jurusannya untuk membayar denda karena pernah gak masuk kelas beberapa kali. Itu Kak Windrayo. Semoga badannya gak bau tokai selama membersihkan toilet.

Gue gak ada kegiatan lain. Sekarang gue berdiri di depan lobby ruangan administrasi jurusan dengan berpikir, gue harus ngapain. Terlintas di pikiran gue nama Aziz. Dia adalah salah satu temen deket gue pas SMA. Gue menghubungi dia lewat via chat.

“Ziz, lo udah libur kuliah belom ?”

“Udah, emang kenapa ?”

“Gue main ke rumah lo ya, hehe.”

“Yaudah, main aja ke sini, Pal.”

Gue berangkat ke rumah Aziz naik motor. Di hari libur begini emang enaknya main ke rumah temen-temen lama. Gue mempunyai beberapa alasan berpendapat seperti itu. Pertama, untuk menjalin pertemanan. Kedua, bisa berbagi pengalaman apa aja yang pernah dilakuin selama kuliah. Ketiga, bisa dapet makanan gratis. Kalo gue sih, lebih mengutamakan alasan yang terakhir. Ehm.

Ketika di depan rumahnya, gue memanggil nama dia. Aziz keluar rumah dengan rambut tergerai berantakan. Rambutnya sekarang sudah tumbuh dengan beringas. Kayak anak punk rock. Gue cuman menganga melihat pertumbuhan rambutnya yang luar biasa. Sampe tetesan air gue menembus tanah, lalu ke inti bumi (iler gue esktrim, keasamannya lebih daripada asam sulfat).

Aziz membuka pertanyaan basa-basi, “Apa kabar lo, Pal ?”

“Baik,” kata gue, “lo gimana ?”

“Baik juga, ayo masuk ke dalem aja.”

Percakapan dibuka dengan sangat, sangat, sangat mainstream.

Gue masuk ke dalam rumah Aziz. Terlihat ada bokapnya Aziz sedang duduk di kursi ruang tamu. Kebiasaan sopan orang Indonesia adalah salim ketika bertemu dengan orang yang lebih tua. Karena gue termasuk orang Indonesia yang (hampir) sopan, gue salim kepada bokapnya Aziz.

Aziz mengajak gue ke dalam kamarnya buat ngobrol-ngobrol santai. Saat gue di dalam, gue jadi teringat ketika SMA dulu pernah main ke rumahnya. Sore itu, ada anak kecil rame-rame di ruang tamu sedang ada les tambahan yang diajarkan oleh nyokapnya Aziz. Sekali-kali gue ngintip di balik pintu melihat anak kecil, setelah itu masuk lagi. Aziz masuk dari luar kamar, bilang ke gue, 
“Pal, ada yang bilang lo ganteng, tuh.”

“Siapa ?” tanya gue penasaran.

“Anak kecil yang di ruang tamu.”

“Yang cewek ?”

“Bukan, yang cowok.”

Deg. Tiba-tiba tatapan mata gue kosong. Entah apa yang terjadi dengan anak-anak kecil ini. Mereka makan apa sehingga bisa menyukai sesama cowok pada saat masih kecil ? Gue merasa kasihan dengan mereka.Tidak bisa merasakan indahnya bisa menyukai perempuan. Semenjak itu, gue jarang main ke rumah Aziz, khususnya pada sore hari. Gak kebayang tubuh gue digerayangi 
mereka kalau dateng lagi di hari selanjutnya.

Di sini gue sekarang. Gue kembali main ke rumah Aziz, setelah pengalaman pahit itu. Pengalaman yang gak bakal gue lupakan seumur hidup. Sambil duduk di kasur, gue bercerita mengenai pengalaman baru di kampus. Mempunyai banyak temen baru, mempelajari hal-hal baru, dan 
sibuk dengan kegiatan kampus.

Komunikasi yang baik menurut gue adalah komunikasi yang terjadi dua arah. Tidak ada satu pihak yang merasa dominan bercerita. Tidak ada satu pihak yang hanya menjadi pendengar. Satu pihak dengan satu pihak yang lain sama-sama dapat bercerita dan mendengarkan. Itu yang gue lakukan dengan Aziz. Setelah gue bercerita, dia ngomong.

“Eh, Pal, sekarang gue beli motor baru, nih.”

“Seriusan ? Mana motornya ?” Gue antusias dengan mendengarkan cerita Aziz sambil bermain 
game  di komputer.”

Ada helaan napas dari Aziz. “Katanya, sih, mau dikirim setelah dzuhur, tapi sampe sekarang belum dateng-dateng juga.” Terlihat muka Aziz melas.

“Yaudah,” kata gue sambil memasang ikutan muka melas juga seperti pengamen yang belum makan satu bulan.“Sabar aja, nanti juga dateng.”

Pengiriman motor emang kadang-kadang emang suka lama. Terutama kalo jarak antara tempat penjual motor dengan rumah sang pembeli cukup jauh, pasti makin lama. Temen gue juga begitu, nunggu motornya lumayan lama, ruamh dia jauh, sehabis maghribh baru dateng (Kok, gue berasa jadi dealer motor ya ? tau semuanya).

“Paling, lagi macet di jalan, Ziz. Atau nggak, mobil pengantarnya ketabrak, terus motornya jatoh, rusak deh,” kata gue mencoba menghibur Aziz yang sebenarnya tidak untuk menghibur.

Detik demi detik terus bergulir membantu menit dan jam menghabiskan waktu. Gak terasa dari jam satu siang sampe jam lima sore gue main game sekaligus cerita-cerita sama Aziz. Di rentang waktu segitu gue diberi makan ketoprak dan cendol oleh bokapnya Aziz.Gak sia-saia gue main ke rumah temen lama.

Aziz masih duduk menunggu kabar motor barunya dari pengirim. Lalu, bulak-balik ke arah kasur-pintu-kasur-pintu.Mukanya gelisah.Nyokap Aziz yang sedang duduk di luar mulai menghibur dengan berkata hal-hal puitis, “Menunggu adalah hal yang membosankan sekaligus menyakitkan.”

Jam dinding sudah menunjukan pukul enam sore. Gue keluar rumah sekedar melihat matahari tenggelam.Aziz juga ikut keluar rumah menatap senja matahari.Adzan maghribh berkumandang, kita berdua shalat maghribh di masjid yang jaraknya lumayan dekat.Ketika mau shalat, Aziz 
bilang, “Eh, Pal, bentar dulu.Ada yang nelpon.”

“Oh, iya pak.” Aziz nutup telponnya.

“Eh, Pal, cepetan ya shalatnya, abang-abangnya udah mau nyampe rumah katanya.”

“Iya.”

Tempat pertemuan Aziz dengan abang-abang pengirim motor adalah di pinggir jalan depan gang rumahnya. Setelah shalat, kita berdua nunggu mobil bak berwarna hitam di tempat yang dijanjikan.Ekpresi Aziz terlihat seneng tapi agak gelisah. Dia mundar-mandir di depan gue.

Sekitar sepuluh menit lebih menunggu, akhirnya mobil bak hitam muncul dari arah kiri.Aziz dengan semangat melambaikan tangan supaya menunjukan dia orang pembeli motornya. Sekaligus dia berteriak dengan suara lantang, “Di sini Bang, di sini !”

Mobil bak menyelipir ke pinggir jalan, lalu mendekat ke arah kami berdua. Dua orang pengirim motor turun dari mobil dengan membawa secarik kertas. Salah satu dari mereka bertanya, “Atas nama Bapak Aziz ?”

“Iya, nama saya Aziz, Bang,” jawab Aziz dengan semangat.

Lalu dua orang tersebut menurunkan satu-satunya motor dari belakang mobil ke pinggir jalan. Abang-abangnya bercerita, katanya, sekarang lagi banyak motor yang dikirim. Ini adalah pengiriman motor yang terakhir, jadi datengnya agak telat dari yang dijanjikan.

“Kita serah terima motornya di mana, ya, Mas ?”

“Di rumah saya aja, Bang,” kata Aziz, “Tapi cuman bisa masuk pake motor, soalnya gang rumah 
saya kecil. Mangkanya saya janjian di sini.”

Abang-abangnya menghela napas, capek abis nurunin motor. “Oke, motornya bisa langsung 
dinyalain buat di masukin ke dalam rumah.” Kata abang pengirim motor sekaligus mempraktekan. “Setelah masukin kuncinya, Mas bisa taruh benda ini di bawah kunci supaya alarmnya mati.”

Motor yang Aziz beli adalah motor keluaran baru. Pas membeli, Aziz ditawarin untuk membeli alarm juga supaya membuat alat pengaman tambahan. Gue akan jelaskan sistem pengaman alarm tersebut. Ketika dimasukan kunci motor, alarm tersebut akan langsung bunyi, dan motor gak bisa langsung nyala. Tapi ada satu benda khusus jika di tempel di bawah gagang kunci, alarm tersebut akan mati.

Setelah ditaruh benda kecil itu, suaranya langsung bunyi “pipip”, kayak alarm mobil. Kalo udah bunyi seperti itu, berarti alarm sudah mati, dan motor bisa dinyalakan. Tingkat kesenangan seseorang berbanding lurus dengan kebudekan seseorang, semakin senang, makan akan semakin budek. Setelah Aziz mempratekan mematikan alarm dengan benda kecil, dia bilang, 
“Bang, kalo udah bunyi “titit”, baru bisa nyala ya motornya ?”

Punya motor sekaligus alarm begini adalah sesuatu yang menyenangkan. Kita bisa ngerjain temen yang mau minjem motor. Kasih aja kunci motornya, tapi jangan kasih juga benda kecil khusus mematikan alarmnya. Setelah dia masukin kunci motor, alarm akan berbunyi keras.

“Eh, kok, motor lo gak bisa nyala !?!” temen kita teriak panik. “Ini kenapa ada bunyi alarm !!”
Kita bisa teriak sekencang-kencangnya, “TOLONG! TOLONG! ADA MALING! ADA MALING!” lalu temen kita dibakar massa.

Aziz boncengin salah satu abang-abang pengirim motor ke rumahnya, untuk serah terima dan untuk ditanya-tanya tentang motor baru tersebut. Salah seorang yang lain menunggu di mobil. Sedangkan gue mengekor dari belakang motor, dengan berjalan kaki. Tentunya gue gak mau wibawa gue turun dengan naik motor bertiga kayak cabe-cabean. Apalagi sama abang-abang pengirim motor.

Di depan rumah Aziz, gue melihat motor barunya. Suara motor tersebut ketika dinyalakan tadi, masih terdengar halus. Mungkin karena masih motor baru, atau karena cc motornya lumayan besar. Gue melihat dari ruang tamu, Aziz sedang ngobrol-ngobrol sama abang-abang pengirim motor mengenai motor baru tersebut. Gue gak ngerti tentang motor, mangkanya gue nunggu di luar.

Ada ide di kepala saat gue melihat motor. “Ziz, gue minta ijin ya ?”

Aziz berjalan keluar rumah, bertanya, “Ijin apaan ?”

“Nendang motor,” kata gue sambil nyengir. Tanpa menjawab respon dia mengijinkan atau tidak, gue langsung nendang ban motor barunya. Ada kebahagiaan tersendiri setelah nendang motor ini, GUE ORANG YANG PERTAMA KALI NENDANG MOTOR BARU TEMEN GUE ! Rasanya pengin 
nangis, terharu.

Seperti motor baru pada umumnya, bensin pengisi bahan bakarnya pasti belum di isi sama sekali. Tapi, Aziz bilang setelah abang pengirim motor tersebut pulang, “Katanya motornya udah di isi satu liter dari sananya.” Aziz bilang ke Nyokapnya, kalo mau ngisi bensin di pom bensin dekat rumah. Gue dan Aziz berangkat.

Di sini permasalahan baru di mulai.

“Yakin ziz, bensinnya cukup sampe pom bensin dekat sini ?” tanya gue khawatir, setelah melihat isi tanki sudah mati-nyala-mati-nyala di speedometer motor.

Aziz berkata percaya diri, “Cukup, kok.Tadi kata abangnya satu liter bensin bisa sampai 50 kilometer.”

“Itu mah teknik marketing, supaya banyak yang beli,” kata gue. “Gue juga pertama kali beli kayak begitu dibilangnya. Eh, pas gue pake, gak nyampe 50 kilometer.”
Lalu, Aziz bilang dengan polosnya kayak abis dibego-begoin anak kecil, “Oh, begitu ya ?”

Sekarang kita udah berhenti di salah satu tempat pom bensin dekat rumah Aziz. Lampunya gelap, terdapat pagar menutupi tempat tersebut. Ada papan di dalamnya bertuliskan dengan huruf kapital semua, “PREMIUM HABIS”.

Sebenarnya masih ada satu pom bensin lagi di depan, tapi jaraknya lumayan jauh dari sini. Jaraknya enam kilometer lebih. “Sekarang mau gimana, Ziz ? Ngisi bensin di pom bensin yang di depan ? atau pulang ?”

“Iya, kita ngisi di sana aja.” Aziz menggaruk-garuk kepala. “Takutnya kalo pulang, bensinnya langsung habis.”

Sekali lagi, gue bertanya pertanyaan yang sama ketika pertama kali berangkat, “Yakin, bensinnya cukup kalo kita ke sana ?”

“Iya. Kita coba dulu.”

Di tengah perjalanan firasat gue mulai gak enak. Semilir angin malam mulai masuk ke tubuh. Leher gue bergidik. Gue lupa gak bawa jaket ketika mau berangkat. Bener, firasat gue mulai gak enak. Perut gue sakit, dan akhirnya kentut sembarangan. Beruntung kentut gue pasti terbawa angin ke arah belakang, Aziz gak tau kejadian ini. Yang tau hanya pengendara motor di belakang, terlihat dari raut mukanya yang emosi mencium baru surga dari pantat gue.

Perlahan tapi pasti motor yang dikendarai Aziz mulai melambat. Gue panik. Aziz panik. Rhoma irama ikutan panik. Ini mulai pertanda buruk, pasti bensinnya habis. Padahal di speedometer,motor baru berjalan lima kilometer, berbeda dengan prediksi Aziz yang bisa bertahan sampe lima puluh kilometer.

Gue nanya, “Kenapa Ziz ?”

“Bensinnya habis kayaknya, Pal.”Aziz tersenyum melihat ke arah gue.Gue tau itu maksud dari senyum tersebut, bukan senyum biasa.Senyum penuh makna.Senyum penuh kelicikan yang pernah ada.

“Dorong sampe tempat pom bensin depan nih ?” gue turun dari motor.

“Iya, hehe.”

Bener, firasat gue bener. Gue udah menduga-duga dari awal kalo akan terjadi seperti ini. Demi menjaga persahabatan dan gak mau menghilangkan kesenangan temen gue yang baru punya motor, gue harus berkorban, dorongin motor sejauh… sekitar empat kilometer. Kemungkinan besar ketika gue sampai pom bensin, betis gue langsung di opname.

Perjalanan sampai pom bensin gak mudah, gue harus mendorong motor terdapat sedikit tanjakan. Dan itu lumayan berat. Ditambah lagi gue juga harus menahan malu dilihatin orang-orang di sekitar, kenapa gue harus dorong-dorong motor sedangkan bannya gak ada yang bocor.
Sambil dorong-dorong motor, sekali-kali gue ngobrol sama Aziz mengisi keheningan. Di tengah ngobrol, Aziz bertanya pertanyaan kampret yang sebenarnya gak perlu di tanyakan, “Pal, lo capek ?”

Gue jawab dengan tersenyum, “LO PIKIR AJA SENDIRI !”

Jarak pom bensin sudah lumayan dekat, sekitar lima ratus meter lagi. Gue makin semangat dorong motornya. Seakan-akan membayangkan kecapekan gue akan terbayar dengan mengisi bensin, lalu pulang menerima dinginnya angin malam.

Gue ngomong dalam hati, “Semoga pas sampe sana, pom bensinnya buka, dan gak tutup kayak pom bensin sebelumnya, semoga….”

Ketika gue sampe sana… LO TAU APA ? DEMI CICAK BUNTING YANG ADA DI ALAM SEMESTA ! POM BENSINNYA TUTUP !

Gue duduk lemas di pinggir jalan. Tatapan mata gue kosong. Gak tau gue harus ngelakuin apa. Aziz turun dari motor, lalu jalan masuk ke dalam bertanya kepada petugas pom bensin. Setelah bertanya-tanya sebentar, dia balik lagi ke gue dengan muka tersenyum, seakan-akan mau memberitahu berita  bahagia bahwa anak kita lahir (Loh ?!).

“Pal…,” ada jeda sejenak, Aziz melanjutkan kalimatnya, “Akhirnya kita bisa ngisi bensin. Kita 
cuman nunggu setengah jam aja, soalnya pom bensinnya lagi diisi sama truk besar.”

DEMI CICAK YANG GAK JADI BUNTING DI ALAM SEMESTA ! Gue bahagia. Setidaknya jerih payah keringat yang sudah gue hasilkan tidak sia-sia. Gue duduk dipinggir jalan, menatap Aziz dengan berlinang air mata, “Ziz, minta minum.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karya Pertama!

Yuhuuu. Gue pengin ngasih tahu kabar gembira untuk kalian semua. Akhirnya proofread buku gue sampe juga di rumah!   Buat yang belum tau, dalam dunia penerbitan ada istilah proofread . Proofread itu adalah cetakan pertama sebelum mencetak sekaligus banyak. Gunanya supaya penerbit bisa ngecek dimana letak kesalahan pada buku pertama. Kalo cetakan pertama udah clear ( udah dibenerin semua) nanti baru bisa dicetak banyak. Itu berguna untuk menekan biaya produksi, kalo udah cetak banyak tapi salah kan kacau. Kok jadi ilmiah gini ya bahasannya.. Oke balik lagi. Jadi cetakan pertama ini udah sampe rumah, dan gue seneng banget, setelah menunggu lama akhirnya sampe juga. Nanti setelah gue koreksi proofread -nya, baru bisa siap cetak. Bokap sama Nyokap kaget banget ada yang ngirim buku ke rumah, terus di cover bukunya ada muka gue. Mereka ngira jaman sekarang media santet udah modern: gue disantet lewat buku. Hmmm… Gue gak ngasih kabar sama sekali ke orang tua kalo gue n...

Merasa asing

Gue merenungkan tulisan raditya dika dari bukunya mengenai koala yang berasal dari New South Wales, Australia. ceritanya begini, koala itu bermigrasi dari hutan tempat tinggalnya. beberapa bulan kemudian, ia kembali ke hutan tempat dia tinggal. namun, ternyata selama dia pergi, hutan yang pernah menjadi rumahnya ditebang, diratakan dengan tanah oleh para penebang liar. Si koala kebingungan kenapa tempat tinggalnya tidak seperti dulu. ia hanya bisa diam , tanpa bisa berbuat apa pun. ia duduk sendirian. memandangi sesuatu yang dulu sangat diakrabinya dan sekarang tidak dikenalinya. Sebenernya gue juga pernah merasakan hal yang dirasakan Si koala itu. 'sesuatu yang dulu sangat diakrabi dan sekarang seperti tidak dikenali'. tapi yang gue rasakan bukan kepada tempat seperti Si koala yang diceritakan diatas, tapi lebih kepada teman yang dulu pernah dekat, tapi sekarang udah tidak lagi. Salah satunya temen sd gue, Ibnu. Ibnu ini saudara dari saudara gue. jadi, gue punya ...

Boker diwaktu yang tidak tepat

Pada bulan bulan awal tahun 2011 pas gue smp dilewati dengan kegiatan kegiatan sekolah yang menyibukan. entah ada try out terus menerus yang hanya berselang seminggu, mengerjakan soal soal pelajaran yang akan di ujiankan tanpa henti, dan masuk sekolah jam 6 pagi atau yang biasa disebut jam 0 untuk belajar tambahan. ya itu semua dilakukan hanya untuk satu tujuan. lulus ujian nasional. "Ah ah ah ah   Ah ah ah ah Ah ah ah oh Ah ah ah ah I always knew you were the best the coolest girl I know"