Setiap orang pasti pernah patah hati.
Tapi akibat yang diterima setiap orang setelah patah
hati selalu berbeda. Tergantung bagaimana sudut pandang kita melihat patah hati
tersebut. Ada yang setelah patah hati langsung mengurung diri di kamarnya berhari-hari.
Sampai timbul lingkaran hitam di bawah matanya akibat bekas menangis yang tak
kunjung selesai. Berkali-kali juga teriak di dekat jendela, “DIA ITU JAHAT!”
sampai pita suaranya hampir putus.
Ada juga yang terlihat jadi bugar keesokan harinya,
walaupun dia menangis semalaman. Setelah patah hati, muncul secercah harapan
untuk mencintai seseorang lagi. Patah hati menurut dia bukanlah sesuatu hal yang
buruk. Melainkan untuk jadi pembelajaran, untuk menjadi yang lebih baik lagi.
Bicara tentang patah hati, tiga hari yang lalu gue
habis nonton film Love, Rosie. Bercerita tentang dua orang laki-laki
dan perempuan yang menjalin persahabatan dari kecil. Ketika mau lulus SMA, persahabatan
mereka mulai renggang, karena yang laki-laki berpacaran dengan perempuan lain.
Begitu juga sebaliknya. Ternyata ketika beranjak remaja, mereka baru sadar,
ternyata kedua-duanya mempunyai perasaan satu sama lain. Mereka patah hati,
tanpa mereka sadari.
Film itu mengingatkan patah hati yang gue alamin tiga
bulan lalu. Patah hati yang cukup membekas di hati. Patah hati yang gak bakal
gue lupain.
Jauh hari dari tiga bulan lalu. Saat itu gue lagi
bercanda sama temen-temen, bahwa gue lagi suka sama seorang cewek. Sebut aja
namanya Tika (bukan nama asli).
Secara terus menerus gue bercanda hal yang sama.
Padahal, ketika gue ngomong tentang Tika, gue gak ada rasa sama sekali sama dia.
Sekecil apapun. Hampir sekitar satu minggu gue bercanda tentang Tika, akhirnya
gue kemakan sama omongan sendiri.
Tika termasuk orang introvert.
Susah bergaul dengan orang baru. Pertama kali ngobrol sama dia, orangnya gak
asik. Setiap ngobrol hanya berlangsung satu arah. Gue nanya, dia jawab. Udah. Begitu
seterusnya tanpa ada timbal balik.
Seperti es batu yang mencair jika ditaruh di suhu yang
panas, lama kelamaan sifat Tika mencair ke gue. Dia semakin lama semakin asik
diajak ngobrol. Segala hal tentang dia gue jadi hampir tau semuanya. Gue jadi
tau kalo dia suka baca buku juga. Dia juga suka kucing. Kita berdua punya
banyak kesamaan. Kita merasa klop satu sama lain.
Beberapa minggu kemudian gue nemenin dia ngerjain
tugas. Kita berdua naik motor bareng. Seperti halnya kalo lagi berdua, gue suka
memecah keheningan dengan cerita hal-hal konyol yang pernah gue alamin. Dia
tertawa renyah, lalu tersenyum. Dunia terasa milik berdua.
Gue inget banget ketika dia gugup di depan tukang fotocopy, canggung setengah mati
bertanya,
“Mba, di sini bisa nyetak foto ?”
“Kalo nyetak foto bisa,” jawab mbanya. Lalu dia
menjelaskan harganya. Memang, harganya
cukup mahal untuk sekedar nyetak foto.
Tika gugup. Sebenernya dia tinggal bilang, “Oh, yaudah.
Makasih ya, Mba. Saya liat yang lain dulu.” Tapi dia diam sejenak. Matanya melotot.
Lidahnya menjulur-julur ke bawah. Oh, dia seperti anjing yang sedang sekaratul
maut. Gue ketawa ngeliat ekspresi dia yang bener-bener aneh.
Begitu banyak pengalaman yang kita alami berdua. Sampai
gue bener-bener jatuh cinta.
Satu minggu sebelum ulang tahunnya, gue udah mikirin
kado apa yang cocok dikasih ke Tika. Gue pengin kasih kado yang special buat dia. Gak mahal-mahal, cuman
buatan tangan gue sendiri. Karena gue percaya, kado special itu bukan dilihat dari harganya, tapi dilihat dari
prosesnya.
Tapi karena waktu itu gue sibuk banget, tugas dari
dosen menumpuk, kado yang pengin gue buat gak kesampaian sama sekali. Dari rumah
gue berniat ngucapin selamat ulang tahun, dan kadonya menyusul.
Tibalah pada hari ulang tahun Tika.
Saat itu gue lagi di Jakarta karena ada suatu acara.
Bukan cuman gue, beberapa temen gue juga ikut dateng ke acara itu, termasuk
Tika. Ada hal yang aneh. Dari awal acara Tika gak pernah keliatan sama sekali.
Di tengah-tengah pembawa acara sedang menjelaskan
sesuatu, Tika masuk ke ruangan. Di belakangnya diikuti laki-laki, temen gue
juga. Belakangan diketahui mereka berangkat berdua ke tempat itu.
Selepas acara, semua temen-temen pada mengucapkan
selamat ke Tika dan laki-laki yang dateng terlambat itu. Ternyata, mereka
berdua resmi berpacaran, tepat pada hari ulang tahunnya Tika. Hati gue
bener-bener patah. Sekelebat kenangan masa lalu gue hancur seketika.
Gak nyangka aja, gue kira selama ini dia punya perasaan
yang sama.
Pulang dari Jakarta, gue ngedengerin lagu sepanjang
perjalanan. Tatapan mata gue bener-bener kosong. Melihat gue yang berbeda dari
yang biasanya, temen gue nanya, “Pal, lo gapapa ?”
“Iya, gue, gapapa, kok.” Gue senyum.
Patah hati ternyata bisa membuat kita jadi pribadi yang
rapuh. Hari-hari setelah Tika berpacaran, gue jadi lebih sering diem. Jarang ngobrol
sama temen-temen, kecuali itu emang bener-bener penting. Saat ada mata kuliah
di kampus gue lebih memilih duduk di pojok deket jendela. Sengaja supaya bisa
menatap keluar jendela.
Patah hati mengajarkan gue untuk merelakan. Ketika
melihat Tika bersama dengan pacarnya, gue cuman bisa tersenyum, merelakan dia
bersama orang lain. Gue cuman bisa berguman dalam hati, “Semoga dia adalah yang
terbaik buat Tika.”
Patah hati ternyata membuat perasaan gue berubah, gak
sama seperti yang dulu. Sama halnya seperti cermin yang pecah, ketika disatukan
kembali, gak akan pernah sempurna seperti sebelumnya.
Patah hati juga mengajarkan gue untuk tumbuh menjadi
manusia yang kuat. Sama halnya seperti ranting pohon yang dipotong, perlahan
demi perlahan akan tumbuh, menjadi ranting yang lebih kokoh dan lebih kuat dari
sebelumnya.
Patah hati itu sakit. Tapi tergantung kita mengambil dari
mana sudut pandangnya.

Ooo....lebih baik sakit gigi daripada sakit hati~
BalasHapusYang bener, patah tulang lebih sakit daripada patah hati, rik, gitu.
Hapus