Matahari mulai merangkak keluar dari
persembunyiannya. Mengepak-ngepakan sayapnya menyinari bumi. Burung-burung berterbangan
mencari sarapan pagi. Ayam berkokok bersautan.
Perasaan yang sedari tadi ditahan, akhirnya keluar juga. Bulir-bulir air mata, berjatuhan ke pipi, hingga menetes ke bawah.
Semenjak hari itu, Frans malas untuk kuliah, karena pasti akan bertatap muka dengan Lia di kampus. Dia memilih untuk menjauh dari Lia. Menjauh untuk menghilangkan rasa sesak di dada, tetapi semakin dia menjauh hanya akan memperparah luka menganga. Serba salah untuk hati yang sedang berduka.
Di kamar mandi, Frans teringat perkataan seorang teman, ketika dia mencurahkan seluruh hatinya. “Hidup ini harus dijalani. Di tengah terpaan badai, pasti ada pelangi yang menanti.”
Frans menjadi semangat belajar di kampus pagi ini. Meskipun harus bertemu Lia setiap hari, dia tidak harus menghindar, hanya harus menghadapi sebagaimana mestinya. Luka akan sembuh dengan sendirinya sebagaimana regenerasi metabolisme tubuh.
Hari ini memakai baju kemeja kotak-kotak berwarna hijau, baju kesukaan Frans ketika berangkat ke kampus. Dia mengambil kunci mobil di atas kulkas, lalu berangkat menuju kampus.
Saat mulai memasuki daerah kampus, Frans melihat perempuan yang jatuh di pinggir jalan. Buku yang dipegangnya berhamburan jatuh ke tanah. Tidak mau melihat orang yang sakit, mobil langsung melipir ke pinggir jalan untuk berhenti.
Frans langsung lari keluar dari mobil untuk membantu perempuan itu berdiri. “Lo kenapa ?”
“Tadi jatuh, kepeleset tanah,” kata perempuan itu.
Frans melihat memar di kaki perempuan yang sedang bersamanya. Sepertinya keseleo, akibat terpeleset. “Naik mobil gue aja ya. Bahaya kalo lo jalan kaki, nanti tambah parah.”
Perempuan berucap, “Iya.”
Frans mengantarkan perempuan masuk ke dalam mobil, kemudian mengambil buku-buku yang berserakan jatuh ke tanah. Beberapa bukunya menjadi warna cokelat, terkena tanah-tanah liat. Di dalam mobil si perempuan menjelaskan kronologi cerita sebelum terpeleset ke tanah. Ternyata dia sedang berlari ke kampus, karena sudah telat. Dan malah berakhir tragis. Untung ada Frans yang membantu. Perempuan itu juga bercerita dia dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) “Kalo lo, dari fakultas mana ?”
“Gue dari fakultas ekonomi,” ucap Frans sambil menyetir.
Timbul percakapan baru setelah masing-masing cerita fakultasnya. Mereka mengobrol dari hal yang santai sampai serius. Tidak jarang di tengah-tengah obrolan, mereka tertawa terbahak-bahak. Frans merasa nyaman dengan orang yang ditemuinya ini. Seolah-olah teman lama yang baru bertemu setelah berpisah sekian lama.
Tidak sadar, mereka sudah sampai di depan gedung FISIP. Perempuan itu turun dari mobil, membawa tas dan buku-buku di tangannya. “Makasih ya atas tumpangannya. Oh, ya, kita belum kenalan. Nama lo siapa ?”
“Gue Frans.”
“Gue Siska.”
Sinar matahari menelusuk ke
dalam jendela, masuk ke sebuah kamar. Frans yang kala itu sedang tidur
terlelap, mulai terbangun dari mimpi. Dia mengusap-ngusap mata --sinar matahari
menusuk-nusuk kornea hingga ke retina—matanya terasa sakit. Mulutnya menguap,
lalu terbangun, dan duduk di samping kasur.
Sorot matanya menatap cermin di
depan, melihat bayangan tubuhnya sendiri. Ada yang aneh. Tidak seperti
biasanya. Bagian kantung matanya menghitam, bagai tertumpah tinta lukis.
Kepalanya menoleh ke arah bantal tempat tidurnya, ada bagian lembab di ujung bantal.
“Mungkin, gara-gara itu,” gumam dia.
Hari ini sebenarnya masuk
kuliah. Hanya saja, sejak kejadian minggu kemarin, Frans jadi malas untuk
berangkat ke kampus.“Kenapa harus orang lain ?” dia berkata kepada diri
sendiri, masih duduk di samping kasur.
Mata kuliah bisnis.
Frans baru ingat, dosen dia hari
ini sangat kejam. Dosen yang paling kejam dari semua dosen. Sekali telat masuk
mata kuliah itu, dia tidak boleh masuk selama satu semester, dan nilainya pasti
akan di bawah C. Di kampus Frans, tidak boleh ada mata kuliah yang mendapatkan
nilai di bawah C. Jika melanggar syarat itu, mahasiswa akan otomatis di-drop out.
Buru-buru dia langsung beranjak
dari tempat tidur, menuju kamar mandi. Dengan langkah gontai, dia mengambil
handuk, lalu melempar asal ke bahu kanan. Saat di kamar mandi, Frans tidak
langsung mandi, sedangkan duduk di atas toilet, sambil merenung. Tiba-tiba
sekelebat masih terbayang kejadian tujuh hari lalu. Kejadian yang dia tidak
akan lupakan seumur hidupnya.
Saat itu dia bertemu dengan Lia,
perempuan yang dia suka dari dulu semenjak masuk kuliah, di sebuah tempat makan
di kawasan Jakarta.
“Mau makan apa ?” Frans
bertanya, sambil melihat menu makanan. Lia menatap menu, membolak-balik lembar
demi lembar. Otaknya sibuk berpikir, menimbang-nimbang makanan. Tempat makan
ini menyediakan banyak pilihan. Akhirnya terpilihlah sebuah makanan. “Gue mau
kepiting bakar!”
“Kepiting bakar ? Itu mahal
banget.”
“Kan gue ulang tahun, jadi bebas
milih apa aja. Gapapa, ya ? please....”
Liat merengut manja. Gaya yang Frans suka ketika pertama kali bertemu.
“Yaudah, gapapa,” Frans
mengiyakan. “Minumannya yang biasa, kan ?”
Lia mengangguk. “Iya.”
Frans memanggil pelayan untuk
memesan makanan. Ketika pelayan datang, dia memesan dua kepiting bakar, satu es
jeruk, dan satu es alpukat. Pelayan tersebut lalu pergi, setelah mengambil
kertas di meja mereka berdua. Frans tahu minuman favorit Lia, yaitu es alpukat,
minuman yang wajib diminum ketika makan di luar.
Sambil menunggu, Lia membuka
percakapan dengan menceritakan kegiatannya di kampus. Tentang kesibukannya ikut
organisasi kampus, melihat kucing anggora di sekitar kantin, hingga sepatunya
yang kotor akibat terkena cipratan lumpur. Frans hari ini menjadi pendengar
setia. Mendengar semua ocehan Lia dari mulutnya.
Walaupun Lia termasuk perempuan yang cerewet, tapi dia suka.
Walaupun Lia termasuk perempuan yang cerewet, tapi dia suka.
Dia rela menghabiskan waktu
seumur hidup hanya untuk mendengar cerita Lia, perempuan yang disukai Frans. Meski
mereka berdua punya perbedaan sifat yang kontras, itu tidak masalah. Frans
pendiam. Lia suka bercerita. Frans suka Anjing. Lia suka kucing. Frans suka
membaca buku. Lia suka menonton film. Beda jauh, tetapi itu menyatukan, pikir
Frans.
Laki-laki yang mempunyai janggut tipis itu selalu berpikir, sebuah pasangan tidaklah harus selalu sama. Mereka harus mengisi kekosongan satu sama lain, untuk menjadi sempurna. Sebuah lukisan indah tidak hanya tercipta dari sebuah kuas, tapi juga kanvas.
Laki-laki yang mempunyai janggut tipis itu selalu berpikir, sebuah pasangan tidaklah harus selalu sama. Mereka harus mengisi kekosongan satu sama lain, untuk menjadi sempurna. Sebuah lukisan indah tidak hanya tercipta dari sebuah kuas, tapi juga kanvas.
Makanan datang, percakapan
mereka terhenti. Ada uap mengepul tebal di atas kepiting bakar. Aroma lezat
sudah tercium menggoda untuk melahap habis. Pelayan menaruh pesanan ke atas
meja. “Semuanya sudah, Mas ?”
“Iya, terima kasih.” Pelayan itu
pergi.
Tidak perlu ancang-ancang, Lia
langsung mengambil garpu dan pisau, kemudian memotong-motong kepiting jadi
beberapa bagian, melahap satu per satu tanpa henti. Sepertinya Lia sudah tidak
makan tujuh hari demi ditraktir hari ini. Frans hanya tersenyum melihat reaksi
perempuan di hadapannya.
Setelah makanan habis, Frans
sudah menyiapkan kado ulang tahun di tasnya. Boneka beruang berukuran cukup
besar yang dia beli satu hari sebelumnya, untuk diberikan ke Lia. Setelah itu,
dia akan mengutarakan perasaannya selama ini.
Tidak ada percakapan selama
makan. Lia menghormati kebiasaan Frans, untuk tidak berbicara ketika makan.
Di atas piring, sekarang hanya
tersisa tulang-tulang dan capit kepiting. Lia memegangi perut kekenyangan,
bagai hamil sembilan bulan. “Masih mau lagi ?” Frans menawari.
“Nggak, kayaknya gue udah cukup
kenyang.”
“Sebentar ya.” Frans membuka
tasnya dan mengeluarkan barang di dalamnya. Sambil tersenyum dia berkata, “Gue
mau ngasih lo ini sebagai hadiah ulang tahun.”
“Ih gue suka banget beruang!
Makasih ya,” ucap Lia sambil mengambil pemberian Frans.
Lia sibuk memegangi boneka beruang
ditangannya. Memutar bagian depan-belakang, lalu dipeluk-peluk. Berbeda dengan
Frans. Dia sibuk dengan pikirannya sendiri, mengutarakan perasaan hari ini atau
kapan. Ketika dia melontarkan perasaan, yang dia tau hanya satu: diterima atau
ditolak. Mudah, tapi sulit.
Satu menit dia mengumpulkan
keberanian untuk berucap.
Tiba-tiba…
“Gue mau ngomong….” Mereka dua
berbicara secara bersamaan. Timbul keheningan panjang. Masing-masing tidak tahu
apa yang akan diucapkan satu sama lain.
“Lo duluan deh,” kata Frans.
Air muka Lia ceria ketika dia
menceritakan bahwa dia baru saja berpacaran dengan Toni, pada malam kemarin.
Tepat pada jam dua belas malam, Toni datang ke rumah, membawakan sebuah kue
ulang tahun dan sekuntum bunga mawar. Lalu dia mengutarakan perasaan dengan
puisi. Dan malam itu mereka resmi berpacaran. “Pokoknya, so sweet deh. Oh iya, tadi lo pengin ngomong apa ?”
Tatapan Frans berubah menjadi
kosong. Dia baru tahu, ternyata Toni, sahabatnya sendiri, menyukai orang yang
sama. Tidak pernah terbesit di benak dia bahwa Toni suka Lia. Walaupun
bersahabat, Frans dan Toni memang tidak pernah bercerita satu sama lain tentang
perempuan yang disuka. Menurut mereka, itu privasi.
“Frans ?” Lia membuyarkan
lamunan. “Jadi mau ngomong ?”
Frans kembali fokus. Mukanya
tersenyum. “Iya, tadi gue pengin ngomong, selamat ya untuk kalian berdua.”
“Makasih,” balas Lia.
Sebelum pulang ke rumah, Frans
mengantarkan Lia ke rumahnya dahulu, di kawasan Bintaro, Jakarta. Saat Lia
mulai mengoceh tentang Toni di dalam mobil, Frans tidak mendengarkan sama
sekali. Dia masih tidak menyangka, sahabatnya sendiri, menyukai orang yang
sama.
“Kenapa harus Toni?” kata Frans dalam hati.
Mobil sudah berhenti di depan
rumah Lia. Rumah dengan tipe minimalis. Dua lantai dengan perpaduan warna
abu-abu dan hitam. Lia turun dari mobil, memeluk erat boneka beruang cokelat di
dekapan tangannya. “Makasih ya untuk hari ini. Mau mampir dulu ?”
“Nggak usah,” ucap Frans. “Nanti
kemaleman pulangnya. Duluan ya.”
Setelah menutup pintu mobil, Frans
menancap gas mobil sekencang-kencangnya. Radio dinyalakan, terdengarlah bunyi
dari lagu Hivi – Orang Ketiga. Dia bingung, Seolah-olah semesta alam bersatu
padu turut bersedih.
Perasaan yang sedari tadi ditahan, akhirnya keluar juga. Bulir-bulir air mata, berjatuhan ke pipi, hingga menetes ke bawah.
Semenjak hari itu, Frans malas untuk kuliah, karena pasti akan bertatap muka dengan Lia di kampus. Dia memilih untuk menjauh dari Lia. Menjauh untuk menghilangkan rasa sesak di dada, tetapi semakin dia menjauh hanya akan memperparah luka menganga. Serba salah untuk hati yang sedang berduka.
Di kamar mandi, Frans teringat perkataan seorang teman, ketika dia mencurahkan seluruh hatinya. “Hidup ini harus dijalani. Di tengah terpaan badai, pasti ada pelangi yang menanti.”
Frans menjadi semangat belajar di kampus pagi ini. Meskipun harus bertemu Lia setiap hari, dia tidak harus menghindar, hanya harus menghadapi sebagaimana mestinya. Luka akan sembuh dengan sendirinya sebagaimana regenerasi metabolisme tubuh.
Hari ini memakai baju kemeja kotak-kotak berwarna hijau, baju kesukaan Frans ketika berangkat ke kampus. Dia mengambil kunci mobil di atas kulkas, lalu berangkat menuju kampus.
Saat mulai memasuki daerah kampus, Frans melihat perempuan yang jatuh di pinggir jalan. Buku yang dipegangnya berhamburan jatuh ke tanah. Tidak mau melihat orang yang sakit, mobil langsung melipir ke pinggir jalan untuk berhenti.
Frans langsung lari keluar dari mobil untuk membantu perempuan itu berdiri. “Lo kenapa ?”
“Tadi jatuh, kepeleset tanah,” kata perempuan itu.
Frans melihat memar di kaki perempuan yang sedang bersamanya. Sepertinya keseleo, akibat terpeleset. “Naik mobil gue aja ya. Bahaya kalo lo jalan kaki, nanti tambah parah.”
Perempuan berucap, “Iya.”
Frans mengantarkan perempuan masuk ke dalam mobil, kemudian mengambil buku-buku yang berserakan jatuh ke tanah. Beberapa bukunya menjadi warna cokelat, terkena tanah-tanah liat. Di dalam mobil si perempuan menjelaskan kronologi cerita sebelum terpeleset ke tanah. Ternyata dia sedang berlari ke kampus, karena sudah telat. Dan malah berakhir tragis. Untung ada Frans yang membantu. Perempuan itu juga bercerita dia dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) “Kalo lo, dari fakultas mana ?”
“Gue dari fakultas ekonomi,” ucap Frans sambil menyetir.
Timbul percakapan baru setelah masing-masing cerita fakultasnya. Mereka mengobrol dari hal yang santai sampai serius. Tidak jarang di tengah-tengah obrolan, mereka tertawa terbahak-bahak. Frans merasa nyaman dengan orang yang ditemuinya ini. Seolah-olah teman lama yang baru bertemu setelah berpisah sekian lama.
Tidak sadar, mereka sudah sampai di depan gedung FISIP. Perempuan itu turun dari mobil, membawa tas dan buku-buku di tangannya. “Makasih ya atas tumpangannya. Oh, ya, kita belum kenalan. Nama lo siapa ?”
“Gue Frans.”
“Gue Siska.”
Hari ini, Frans memilih satu
kata di kamus, yang jarang orang pilih.
Pindah.
Komentar
Posting Komentar