Langsung ke konten utama

Adulting Is Hard


“Kamu silahkan keluar ruangan dulu. Nanti jika diskusi sudah selesai, kamu boleh masuk.” Begitu kata dosen penguji.

Gue keluar ruangan dengan perasaan lega.

Saat itu gue menjalani sidang tugas akhir. Setelah presentasi lima belas menit, gue duduk di bangku berhadapan dua dosen penguji. Mereka adalah dosen di kampus, pernah mengajari gue di kelas, dan orangnya asik, sering bercanda. Entah kenapa, kepribadian mereka berubah drastis, menjadi sangat serius sekali.

Pas gue duduk, mereka memulai sidang, eh, lebih tepatnya membantai tugas akhir gue. Mencoret-coret kata yang salah. Melontarkan pertanyaan-pertanyaan mematikan.Ingin diperjelas kembali teori di buku. Dan kalau udah skakmat, gue cuman bisa nyengir, lalu di balas dengan tatapan datar dosen.  

Waktu sidang gue hampir memakan waktu dua jam. Ketika dirasa cukup proses pembantaian itu, dosen menyuruh menunggu gue di luar, mereka berdiskusi mengenai nilai yang akan didapatkan.

Dosen membuka pintu, memanggil nama gue. “Nopal. Silahkan masuk.”

“Siap, Pak.”

Sang dosen mulai memainkan kumisnya.

“Kami berdua sudah berdiskusi mengenai tugas akhir kamu,” kata pak dosen, ia melepas kacamatanya, lalu menatap dosen di sebelahnya, terus menatap tajam ke gue. “Menurut anda, apakah anda lulus ?”

Gue menelan ludah. Tahu bahwa ini pertanyaan jebakan. Kalau menjawab: saya lulus. Pasti mereka akan berkomentar jadi orang jangan terlalu optimis. Sedangkan jika menjawab: kayaknya, saya nggak lulus. Mereka akan berkomentar udah lama-lama kuliah masa mau gak lulus. Opsi kedua sepertinya telalu bego. Gue nggak mau sebego itu. Gue pilih opsi pertama.

“Menurut saya, saya lulus, Pak. Karena saya membuat tugas akhir ini sendiri, dan saya memahami materi yang tadi dipresentasikan.”

Dosen itu berdehem. “Kamu kok, pede sekali. Padahal kami belum ngasih tau nilai kamu. Siapa tahu kamu ternyata nggak lulus.”

“Hidup harus optimis, Pak,” ujar gue dengan mantap. “Walaupun udah mau sekarat sekalipun, hidup harus optimis.”

“Oh, gitu.” Terlihat mereka bisik-bisik di depan selama beberapa detik, lalu mengucapkan selamat.

“Setelah mempertimbangkan dengan matang, dan berdiskusi, kami menyatakan kamu lulus. Dengan nilai amin.”

“Nilai saya doa pak ?”

“A minus maksudnya.”

“Oh.”

Setelah menandatangani kertas sidang, kedua dosen penguji keluar. Akhirnya gue bisa lega setelah penantian sekian lama mengurusi tetek-bengek tugas akhir.

Tradisi di kampus gue –tapi sepertinya berlaku di kampus lain juga—usai sidang tugas akhir selalu ada perayaan. Biasanya orang yang habis sidang akan diberi hadiah. Macam-macam. Paling banyak bunga. Kalau bunga sih, rata-rata dari pacar. Gue cukup tahu diri. Sebagai orang yang gak punya pasangan, gue cukup tahu diri. Tidak terlalu berharap banyak dapet bunga. Dapet bungkus kopi juga udah seneng.

Begitu keluar ruangan kelas, gue seperti orang yang lolos audisi Indonesia Idol. Banyak teman menyambut. Bilang selamat, lalu memeluk erat. Lalu ada teman nanya gimana tadi rasanya di dalem, gue jawab aja, ”kayak malem pertama habis nikah. Tegang!”

Tawa riuh terdengar.

Karena gue termasuk orang yang sidangnya duluan. Uhuk. Teman ada yang nanya tips-tips menghadapi di dalam ruangan pas presentasi. Gue jawab dengan klise: let it flow aja.

Sesi-sesi foto pun menjadi hal wajib. Usai sidang belum foto itu rasanya belum afdhol. Dengan raut wajah gembira melepas penat selama di kampus, kami berfoto. Tapi, gue nggak mau naif, walau “sendiri” gue juga mau dikasih bunga. Seperti teman yang lain.

Matahari mulai menyingsing di tepi barat, suasana kampus makin ramai. Banyak yang berfoto di belakang banner. Mengeluarkan senyum pepsodent. Karena pegel foto-foto, akhirnya gue duduk, memandang sekitar.

Di situlah ternyata ada Aziz dan Wandy, teman SMA gue. Dua-duanya cowok. Dan tahu apa yang mereka bawa ? Mereka bawa bunga. Sungguh romantis sekali sekaligus menjijikan. Kami akhirnya bertiga foto menghadap kamera. Di situlah gue. Diapit oleh dua orang cowok yang memberikan bunga usai sidang ke sesama cowok. Kami terlihat seperti pasangan homo yang sering melakukan threesome.

***

Hari demi hari belanjut. Kehidupan pun mulai berbeda. Intenstitas berkumpul dengan teman kampus pun jadi sedikit. Sekarang memasuki tahap dimana mulai mengejar impian masing-masing. Entah, ada yang melanjutkan kuliah, ada yang mulai sibuk kerja, ada yang sibuk melamar kerja, dan juga yang menjadi pengangguran menatap insta-story teman-teman yang lagi sibuk kerja.

Kadang, rindu juga mau main sama temen. Biasanya setiap pulang ngampus nongkrong sampai malem. Ngobrol ngalur ngidul ditemani gorengan dan kopi hangat. Bertukar cerita sambil menertawakan hidup. Tapi, itu udah nggak bisa lagi. Gue merasa sepi.

Gue sekarang memasuki tahap melamar kerja. Mulai melamar satu-satu. Tapi, males. Dulu, jauh sebelum masuk ke fase mencari kerja, gue pernah mengobrol ringan dengan kakak gue. Ia berbagi pengalaman pahitnya dulu sebelum bekerja seperti sekarang.

“Nih, liat,” kata Kak Ojan, menunjukan screenshot sent email dia. Hampir ada dua puluh email lebih 
yang isinya lamaran kerja semua.

“Wah, banyak juga ya.” Gue mencoba takjub. Setidaknya dengan menunjukan antusias, Kak Ojan masih memberikan uang jajan untuk adiknya ini.

“Yaudah, jangan males. Lo lamar setiap ada lowongan kerja. Kalau bisa jangan satu, tapi banyak. Inget prinsip tebar jaring. Nggak pasti semuanya dapet. Tapi, mungkin ada satu-dua pasti ada yang nyangkut.”

“Iya,” jawab gue. “Nanti aku lamar yang banyak.”

“Kerja itu emang capek. Tapi mendingan capek kerja, daripada capek nyari kerja.”

Keesokan harinya pun sarannya langsung gue ikuti. Mulai berselancar di internet. Mencari lowongan kerja (loker) yang sesuai dengan bidang yang disuka. Udah dapet satu loker, kirim email, lalu cari lagi lowongan lain. Begitu seterusnya sampai cukup banyak.

Proses selanjutnya adalah tinggal menunggu panggilan. Satu hari. Dua hari. Satu minggu. Dua minggu. Nggak kunjung ada panggilan. Gue selalu siap siaga setiap ada telpon masuk. Sampai akhirnya merasa lelah.

Ternyata menjadi dewasa cukup sulit. Harus cari kerja. Bantu biaya adik kuliah. Bahagiain orang tua. Waktu main jadi terbatas. Nggak seperti yang gue bayangkan dulu waktu kecil: Enak ya, jadi orang dewasa. Bisa enak ngapain aja. Terus, kan, pasti punya uang bisa beli apa aja.

Pret.

Menjadi dewasa berarti harus kuat menjalani hidup. Harus kuat memanggul tanggung jawab lebih besar. Harus kuat dengan gimana rintangan yang ada.

Kadang, gue rindu menjadi anak kecil. Pikirannya belum banyak beban. Paling pusing, ya mikirin prioritas mau berak, gosok gigi, atau sampoan dulu ketika mau mandi.

Tak berselang lama ada telpon masuk handphone, “Selamat malam. Betul ini nomer Mas Naufal ?”

“Iya, mba dengan saya sendiri.”

“Sesuai dengan lamaran yang masuk, Anda kira-kira kapan ya bisa diwawancara ?”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karya Pertama!

Yuhuuu. Gue pengin ngasih tahu kabar gembira untuk kalian semua. Akhirnya proofread buku gue sampe juga di rumah!   Buat yang belum tau, dalam dunia penerbitan ada istilah proofread . Proofread itu adalah cetakan pertama sebelum mencetak sekaligus banyak. Gunanya supaya penerbit bisa ngecek dimana letak kesalahan pada buku pertama. Kalo cetakan pertama udah clear ( udah dibenerin semua) nanti baru bisa dicetak banyak. Itu berguna untuk menekan biaya produksi, kalo udah cetak banyak tapi salah kan kacau. Kok jadi ilmiah gini ya bahasannya.. Oke balik lagi. Jadi cetakan pertama ini udah sampe rumah, dan gue seneng banget, setelah menunggu lama akhirnya sampe juga. Nanti setelah gue koreksi proofread -nya, baru bisa siap cetak. Bokap sama Nyokap kaget banget ada yang ngirim buku ke rumah, terus di cover bukunya ada muka gue. Mereka ngira jaman sekarang media santet udah modern: gue disantet lewat buku. Hmmm… Gue gak ngasih kabar sama sekali ke orang tua kalo gue n...

Merasa asing

Gue merenungkan tulisan raditya dika dari bukunya mengenai koala yang berasal dari New South Wales, Australia. ceritanya begini, koala itu bermigrasi dari hutan tempat tinggalnya. beberapa bulan kemudian, ia kembali ke hutan tempat dia tinggal. namun, ternyata selama dia pergi, hutan yang pernah menjadi rumahnya ditebang, diratakan dengan tanah oleh para penebang liar. Si koala kebingungan kenapa tempat tinggalnya tidak seperti dulu. ia hanya bisa diam , tanpa bisa berbuat apa pun. ia duduk sendirian. memandangi sesuatu yang dulu sangat diakrabinya dan sekarang tidak dikenalinya. Sebenernya gue juga pernah merasakan hal yang dirasakan Si koala itu. 'sesuatu yang dulu sangat diakrabi dan sekarang seperti tidak dikenali'. tapi yang gue rasakan bukan kepada tempat seperti Si koala yang diceritakan diatas, tapi lebih kepada teman yang dulu pernah dekat, tapi sekarang udah tidak lagi. Salah satunya temen sd gue, Ibnu. Ibnu ini saudara dari saudara gue. jadi, gue punya ...

Boker diwaktu yang tidak tepat

Pada bulan bulan awal tahun 2011 pas gue smp dilewati dengan kegiatan kegiatan sekolah yang menyibukan. entah ada try out terus menerus yang hanya berselang seminggu, mengerjakan soal soal pelajaran yang akan di ujiankan tanpa henti, dan masuk sekolah jam 6 pagi atau yang biasa disebut jam 0 untuk belajar tambahan. ya itu semua dilakukan hanya untuk satu tujuan. lulus ujian nasional. "Ah ah ah ah   Ah ah ah ah Ah ah ah oh Ah ah ah ah I always knew you were the best the coolest girl I know"