Langsung ke konten utama

Menjadi Seorang Ayah (1/2)

Untuk saat ini konsep menikah sangat-sangat-sangatlah menakutkan bagi gue pribadi. Bagaimana nggak, kita harus hidup bersama dengan orang yang kepribadiannya berbeda, isi kepalanya berbeda, dan yang paling penting dari itu semua: kelaminnya beda.

Hidup dengan keluarga sendiri saja terkadang suka ribut sendiri, dengan masalah-masalah kecil sekalipun. Apalagi ada orang baru yang ingin mencoba masuk ke dalam hidup kita, mencoba berkomitmen seumur hidup. Hidup satu rumah. Setiap hari bertemu. Yang sudah pasti, ujung-ujungnyaa bakal tau sifat buruknya masing-masing.

Belum lagi masalah anak. Tentunya nanti ketika menikah salah satu tujuannya adalah mempunyai keturunan. Memegang tanggung jawab secara penuh titipan dari Tuhan. Salah-salah sedikit, efeknya bakal jangka panjang.

Anak salah sedikit. Orang tua disalahin. "Ini anaknya siapa ?" belum pernah terdengar ketika punya kesalahan ditanya, "Berapa harga sembako di daerah wonosobo pada tahun 1969 ?"

Masalah finansial juga menjadi perhatian yang sangat krusial. Banyaknya perceraian salah satunya faktor tertinggi karena ekonomi keluarga. Tiba-tiba kebutuhan sehari-hari tidak tercukupi, suasana rumah menjadi runyam, ujung-ujungnya berpisah.

Pondasi keuangan termasuk paling penting.  Bagaimana mencukupi kebutuhan sehari-hari. Pendidikan. Rumah. Tabungan. Investasi. Dan yang lain sebagainya yang kalau dipikirin semuanya, bisa membuat otak pecah. Dan gue belum mencapai ke tahap itu, untuk mempunyai semuanya.

Ditambah lagi dengan kondisi orang tua memutuskan berpisah saat gue kuliah sekitar 2 sampai 3 tahun lalu. Itu momen terburuk dalam hidup. Patah sepatahnya. Hancur-sehancurnya.

Jadi itu membuat pola pikir gue menikah merupakann hal yang sangat menakutkan. Harus dipikir secara matang-matang. Ketakutan akan terjadi seperti kejadian orang tua, selalu membayangi di kepala.

Tapi keinginan mempunyai keluarga sendiri, mempunyai anak dan pasangan seumur hidup tentunya masih ada. Gue gak mau hidup sebatang kara sampai mati. Mati dalam kesendirian. Tanpa ada kenangan yang bisa disimpan ketika hidup. Mungkin keinginan itu akan diwujudkan di waktu yang akan datang setelah dirasa semuanya siap.

Terlepas dari itu semua, ada satu momen yang paling gue suka ketika duduk di taman. Pasti selalu ada pasangan ayah dan ibu serta membawa anaknya bermain. Berlari-larian. Mengejar satu sama lain. Dan tertawa bersama. Gue melihat itu suka senyum sendiri. Seseru itukah ?

Tiba-tiba timbul pertanyaan. Gimana rasanya jadi seorang Ayah ? Apakah menyenangkan ?

Di kantor banyak teman-teman sudah menikah. Hubungan gue dengan mereka beberapa cukup dekat. Dan, rasanya asik kalo diajak ngobrol ngalur ngidul. Sambil menyesap kopi di gelas, dan duduk di depan layar laptop, gue ngobrol dengan Mas Mindra.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karya Pertama!

Yuhuuu. Gue pengin ngasih tahu kabar gembira untuk kalian semua. Akhirnya proofread buku gue sampe juga di rumah!   Buat yang belum tau, dalam dunia penerbitan ada istilah proofread . Proofread itu adalah cetakan pertama sebelum mencetak sekaligus banyak. Gunanya supaya penerbit bisa ngecek dimana letak kesalahan pada buku pertama. Kalo cetakan pertama udah clear ( udah dibenerin semua) nanti baru bisa dicetak banyak. Itu berguna untuk menekan biaya produksi, kalo udah cetak banyak tapi salah kan kacau. Kok jadi ilmiah gini ya bahasannya.. Oke balik lagi. Jadi cetakan pertama ini udah sampe rumah, dan gue seneng banget, setelah menunggu lama akhirnya sampe juga. Nanti setelah gue koreksi proofread -nya, baru bisa siap cetak. Bokap sama Nyokap kaget banget ada yang ngirim buku ke rumah, terus di cover bukunya ada muka gue. Mereka ngira jaman sekarang media santet udah modern: gue disantet lewat buku. Hmmm… Gue gak ngasih kabar sama sekali ke orang tua kalo gue n...

Merasa asing

Gue merenungkan tulisan raditya dika dari bukunya mengenai koala yang berasal dari New South Wales, Australia. ceritanya begini, koala itu bermigrasi dari hutan tempat tinggalnya. beberapa bulan kemudian, ia kembali ke hutan tempat dia tinggal. namun, ternyata selama dia pergi, hutan yang pernah menjadi rumahnya ditebang, diratakan dengan tanah oleh para penebang liar. Si koala kebingungan kenapa tempat tinggalnya tidak seperti dulu. ia hanya bisa diam , tanpa bisa berbuat apa pun. ia duduk sendirian. memandangi sesuatu yang dulu sangat diakrabinya dan sekarang tidak dikenalinya. Sebenernya gue juga pernah merasakan hal yang dirasakan Si koala itu. 'sesuatu yang dulu sangat diakrabi dan sekarang seperti tidak dikenali'. tapi yang gue rasakan bukan kepada tempat seperti Si koala yang diceritakan diatas, tapi lebih kepada teman yang dulu pernah dekat, tapi sekarang udah tidak lagi. Salah satunya temen sd gue, Ibnu. Ibnu ini saudara dari saudara gue. jadi, gue punya ...

Boker diwaktu yang tidak tepat

Pada bulan bulan awal tahun 2011 pas gue smp dilewati dengan kegiatan kegiatan sekolah yang menyibukan. entah ada try out terus menerus yang hanya berselang seminggu, mengerjakan soal soal pelajaran yang akan di ujiankan tanpa henti, dan masuk sekolah jam 6 pagi atau yang biasa disebut jam 0 untuk belajar tambahan. ya itu semua dilakukan hanya untuk satu tujuan. lulus ujian nasional. "Ah ah ah ah   Ah ah ah ah Ah ah ah oh Ah ah ah ah I always knew you were the best the coolest girl I know"